Mohon tunggu...
Adica Wirawan
Adica Wirawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - "Sleeping Shareholder"

"Sleeping Shareholder" | Email: adicawirawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Latah Bertani "Porang", Latah Berinvestasi Saham

20 Juni 2019   09:01 Diperbarui: 20 Juni 2019   15:55 1194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Paidi, petani porang (sumber: asset.kompas.com)

"Porang." Mungkin kata tadi terdengar asing di telinga kita. Namun, tidak bagi penduduk Desa Kepel, Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Sejak tiga tahun terakhir, tanaman sejenis umbi ini menjadi "primadona" di desa tersebut. Ia menjelma "tambang emas", yang sanggup mengubah taraf hidup penduduk sekitar.

Disebut "tambang emas" karena penduduk yang membudidaya porang bisa menuai untung besar. Semua itu bisa terjadi karena porang yang dihasilkan umumnya diekspor ke luar negeri. Makanya, nilai jualnya bisa sangat tinggi.

Paidi, pelopor budidaya porang di Desa Kepel, menceritakan bahwa sebetulnya porang bukanlah tanaman utama yang banyak dibudidayakan penduduk sekitar. Awalnya mereka lebih banyak bertani cengkeh dan durian.

Namun, semua itu kemudian ditinggalkan setelah mereka melihat kesuksesan Paidi dalam bertanam porang. Pasalnya, hanya dari bertani porang, Paidi bisa meraup omset 1 miliar rupiah per bulan, membangun rumah, dan memperbaiki taraf hidupnya.

Dengan semua keuntungan tadi, warga Desa Kepel pun tergiur bertani porang. Beramai-ramai mereka belajar dari Paidi. Dengan murah hati, Paidi pun mengajarkan cara bertanam porang. Berkat upayanya, kini mayoritas penduduk bertanam porang dan taraf hidup mereka pun bertambah baik.

Latah

"Latah." Mungkin itu adalah kata yang tepat untuk menggambarkan peristiwa tadi. Saat melihat seseorang sukses menggeluti suatu bisnis, orang lain pun ikut meniru bisnis orang tersebut.

Ingat "booming" startup beberapa tahun lalu? Ketika startup, seperti Tokopedia, Gojek, dan Traveloka, mulai naik daun, ada begitu banyak anak muda yang berbondong-bondong mendirikan startup. Dengan latah, mereka berupaya meniru startup-startup yang sudah ada seraya berharap keberuntungan juga menghampiri bisnis mereka.

Sikap latah tadi tak hanya terjadi di dunia bisnis, tetapi juga di bidang investasi. Sudah bukan rahasia lagi bahwa keputusan investasi, termasuk di instrumen saham, sering dipengaruhi oleh tren. Makanya, jangan heran, saat suatu saham sedang ramai ditransaksikan, investor pun latah membeli saham tadi karena harganya diprediksi akan naik cepat.

Biarpun dapat menghasilkan keuntungan yang besar dalam waktu relatif cepat, bukan berarti cara berinvestasi seperti ini bebas dari risiko. Sebab, kalau hanya ikut-ikutan, tanpa memeriksa fundamental suatu saham terlebih dulu, investor berisiko menanggung kerugian besar. Boleh jadi, saham yang dibelinya nyangkut lantaran investor masuk pada waktu yang salah (biasanya ditandai dengan overbought).

Saya jadi ingat cerita kenalan saya yang membeli saham karena mengikuti tren sesaat. Pada waktu itu, ia memborong saham sebuah perusahaan otomotif karena saham tersebut akan membagikan dividen yang lumayan besar. Ia tertarik mendapat untung besar dari dividen yang dibagikan tersebut.

Kenalan saya pun memboyong saham tadi pada harga Rp 1.400-an/lembar. Pada waktu itu, saham tersebut sedang ramai ditransaksikan. Ada begitu banyak investor yang latah membelinya. Mereka ingin memilikinya untuk memperoleh dividen yang besar sehingga harganya naik secara signifikan.

Kenalan saya berencana mempertahankan saham tersebut sampai waktu cum date, dan langsung menjualnya pada keesokan harinya. Ia tahu, sehari setelah cum date (ex date), harga saham biasanya akan runtuh. Ia tentu tidak ingin meratapi kerugian yang dalam hanya karena telat jual.

Makanya, kenalan saya tadi memasang harga jual di bawah harga beli. Meskipun itu akan memangkas capital gain yang bisa didapatnya, ia berharap ada orang yang mau membeli saham tadi dengan harga yang sudah ditentukannya. Ia ingin keluar pasar secepat mungkin sekaligus bawa untung sebesar mungkin.

Namun, kenalan saya lupa bahwa pasar saham itu dunia yang "kejam", "buas", dan "ganas". Seperti kata Lo Kheng Hong, pasar saham tidak akan memberi ampun kepada siapapun yang tidak tahu apa yang dilakukannya.

Dan, benar saja, pada sesi perdagangan esok harinya, saham yang dipegang kenalan saya tadi langsung amblas 25% lebih! Ia tidak sempat menjual 1 lot pun sahamnya karena harganya sudah keburu jatuh.

Pada keesokan harinya pun demikian. Penurunan masih berlanjut. Kalau semua ditotal, hanya dalam beberapa hari, saham tadi telah anjlok sekitar 37% lebih! Saya pikir, dengan potensi capital loss sebesar itu, deviden yang diterima kenalan saya jadi tidak setimpal.

Oleh sebab itu, dalam berinvestasi apapun, sebaiknya hindari sikap latah. Kalau hanya sekadar ikut-ikutan tanpa berpikir terlebih dulu, kegiatan investasi yang dilakukan terlalu berisiko. Investor bisa terjerumus dalam masalah sebab kesalahan sangat mungkin terjadi. 

Jadi, investor mesti bersikap bijak dalam membuat sebuah keputusan investasi sehingga potensi kerugian dapat diminimalkan.

Salam.

Adica Wirawan, founder of Gerairasa

Referensi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun