Mohon tunggu...
Adib Yabani
Adib Yabani Mohon Tunggu... Bisnis -

Someone who will lost someday

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Andai Aku Mampu Mengatakan Ini

20 April 2012   16:28 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:21 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku memang minta terlahir seperti ini. Dan aku bangga lantaran sungguh ini adalah bentuk perjanjianku dengan Tuhan. Tuhan menawariku apakah aku ingin diberi-Nya kemampuan bicara dengan segala resiko dosanya, atau ketidakmampuan bicara dengan segala hikmahnya. Aku memilih yang kedua. Dan aku tidak menyesal.
Memang sulit rasanya menyampaikan apa yang aku rasakan pada orang-orang. Tidak mudah untuk mengungkapkan saat aku ingin sesuatu. Aku hanya dapat menyampaikan rasa senangku dengan senyum dan rasa sedihku dengan menangis. Hanya itu yang bisa kulakukan. Mengertilah. Toh, bahasa kalian juga tak pernah bisa seutuhnya mewakili apa yang kalian rasakan. Tidak jauh berbeda dengan bahasaku.
Jika kalian pikir aku menderita dengan keadaan seperti ini, maka kalian salah. Aku bahagia. Mungkin telingaku tak dapat mendengar, tapi hatiku bisa. Mulutku memang tak mampu bicara tapi hatiku mampu. Mungkin saat aku dewasa nanti hatiku mampu mendengar dan berbicara lebih baik dari hati kalian, karena dari kecil aku ditempa untuk mendengar dan berbicara dengan hati. Asal kalian tahu saja, walaupun orang-orang  tak bicara pun, aku dapat merasakan apa yang dirasakan orang-orang.

Walaupun dengan keterbatasan ini aku yakin aku mampu menggapai mimpi-mimpiku. Masa depanku tak kalah cerah dengan orang lain. Toh, cuma satu hal saja yang membuatku berbeda. Cuma satu itu.


Tolong jangan pernah menyalahkan orangtuaku atas keadaan ini. Tolong. Plis. Mereka tak bersalah. Seandainya aku disuruh memilih untuk memilih orang tua yang kuingikankan, aku pasti takkan memilih mereka. Bukan karena aku tak sayang, akan tetapi karena aku terlalu menjadi beban mereka. Mereka terlalu mulia untuk orang sepertiku. Aku iba pada mereka. Tapi akhirnya aku sadar, semua memang sudah rencana Tuhan. Ya, semua memang sudah direncanakan. Dan untuk Bapak, Ibu, aku janji suatu saat akan membuat kalian bangga.
***

Hampir setiap hari anak ini sering main di komunitas saya. Ia sangat tertarik dengan game-game di laptop. Kadang saya jengkel juga pas lagi internetan atau lagi kerja tugas ini anak ngeganggu aja, pengen main game dengan nuding-nuding ke arah monitor sambil senyum dengan wajah polosnya. Tapi di lain sisi kasihan juga melihatnya.


Sampai sekarang saya belum tahu ini anak namanya siapa. Wong kalo ditanya namanya dia tidak bisa jawab. Umurnya sekitar 4 tahun. Rumahnya persis di samping komunitas saya. Ayahnya penjual nasi goreng keliling. Kalo kemana-mana, anak ini pergi dengan sepeda roda empatnya yang setia menemani.

Anak ini energik, tidak gampang menangis, kuat, supel, rame. Ia mampu dengan mudah bahagia dengan caranya sendiri. Senyumnya, tingkah polanya, seakan mengartikan kebahagiaan tanpa beban. Kadang saya bingung, ini anak apakah sadar jika ia punya kekurangan.
Kadang saat ia menangis merengek minta maen game, ada sesuatu yang tersirat ingin ia sampaikan. Matanya mengisyaratkan sesuatu. Setelah kami berkomunikasi-dengan cara kami sendiri-rasanya ia ingin menyampaikan hal di atas. Entah saat 30 tahun ke depan saya membaca tulisan ini ia sudah menjadi sehebat apa.
Keep struggle bro, the world is waiting for your opus. I'msure you'll beable toconquerthe world. Ganbatte kudasai!!

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun