Si Ibu, yang notabene adalah Menteri Keuangan sejati di rumah itu, menyahut tanpa mengalihkan pandangan dari wajan teflon. "Rakyat kecil mana, Yah? Yang susah itu Ibu, tiap bulan nombokin uang belanja pake uang arisan."
SKAKMAT.
Si anak, yang masih berjuang dengan skripsinya, menimpali dengan sinis, "Halah, Ayah ngomongin utang negara, utang ke warung sebelah bayar kopi aja suka lupa."
Tiga kalimat. Tiga sudut pandang. Realitas yang lebih nyata dari sinetron azab mana pun. Ada kegelisahan semu seorang kelas menengah, pragmatisme seorang ibu rumah tangga, dan kejujuran brutal seorang anak muda. Ini bukan sekadar obrolan, ini adalah potret sosial dalam format 1080p.
Atau di meja makan lain. Di sebuah rumah sederhana di gang sempit. Menunya nasi, tempe goreng, dan sambel. Si Bapak, seorang kuli bangunan, mengeluh sambil ngunyah. "Proyek mandeg, Lik. Mandore bilang danane seret." Si Ibu menghela napas, napas yang beratnya mungkin setara dengan berat tabung gas 3 kilo. "Beras sak iki regane medeni, Pak'e." (Beras sekarang harganya menakutkan, Pak).
Tak ada diskusi soal kebijakan fiskal atau geopolitik. Yang ada hanya keluhan paling murni tentang perut dan asap dapur. Meja makan adalah panggung di mana laporan keuangan keluarga dibuka tanpa tedeng aling-aling. Di ruang tamu kita bisa pamer TV layar datar hasil kredit, tapi di meja makan, jumlah tempe yang dihitung per kepala adalah neraca keuangan yang tak bisa didustakan.
**
Yang paling saya suka dari meja makan adalah bagaimana ia menjadi ajang negosiasi paling alot. Bukan negosiasi bisnis miliaran, tapi negosiasi soal, misalnya, tingkat kepedasan sambal.
Ibu sudah dengan cinta membuat sambal terasi. Tapi si bungsu, generasi yang tumbuh dengan saus sasetan, memprotes. "Bu, ini sambelnya kenapa baunya aneh? Nggak ada yang rasa keju apa?" Si sulung, yang merasa paling macho, menimpali, "Halah, ini mah bukan sambel, ini tomat dikasih gincu. Kurang nendang!" Bapak, mencoba menengahi, "Sudah, sudah, yang penting bisa buat nambah nasi."
Lihat? Satu piring kecil sambal bisa memicu perdebatan multipartai. Di sinilah kita belajar berdiplomasi. Belajar menyampaikan kritik tanpa harus membuat si koki (Ibu) mengancam akan menyajikan nasi putih saja selama seminggu ke depan.
Dan dari urusan sepele itu, obrolan bisa menjalar kayak kabel kusut. Dari sambel yang kurang pedas, bisa nyambung ke cerita teman kantor yang omongannya pedas. Dari sayur yang keasinan, bisa curhat soal kehidupan yang makin hari makin asin.