Mohon tunggu...
Adib Abadi
Adib Abadi Mohon Tunggu... Eklektik

Tertarik pada dunia buku, seni, dan budaya populer.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Mari Menanam Cabai

18 Februari 2025   21:26 Diperbarui: 19 Februari 2025   04:37 602
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tanaman cabai merah keriting. (SHUTTERSTOCK/JAMALUDINYUSUPPP)

Saya tidak pernah terlalu memikirkan cabai, sampai suatu hari saya harus memikirkannya. Polong-polong kecil yang menyengat ini bukan hanya bahan masakan, melainkan juga sebuah fenomena ekonomi, indikator politik, bahkan tolok ukur kegelisahan nasional.

Saya menganggapnya seperti udara---keberadaannya tak terbantahkan, dan hanya terasa penting ketika terjadi kelangkaan. Lalu, harga cabai melonjak. Semua orang mulai berbicara tentang cabai, membahas inflasi di warung kopi dengan keseriusan yang biasanya disediakan untuk debat politik. Dan saya pun mulai bertanya-tanya: Mengapa kita tidak menanamnya sendiri?

Menteri Dalam Negeri, dalam upaya meredam kepanikan publik, menyarankan solusi yang tampak masuk akal: tanam cabai sendiri di rumah (Kompas 17/02/2025).

Sederhana, bukan? Tidak perlu repot berdebat tentang kebijakan pangan atau mekanisme pasar, cukup masukkan beberapa biji ke dalam tanah dan tunggu hasilnya. Namun, seperti banyak hal dalam hidup, solusi sederhana sering kali mengabaikan kompleksitas.

Bagaimana jika kita memang tidak bisa menanam cabai? Bagaimana jika masalahnya lebih besar dari sekadar ketersediaan tanaman di pekarangan rumah?

Ekonomi Politik Cabai

Kenaikan harga cabai bukan sekadar soal bumbu dapur yang semakin mahal. Ini adalah domino yang merobohkan banyak aspek kehidupan. 

Warung pecel lele harus menaikkan harga, para ibu rumah tangga mengeluh lebih keras di pasar, dan tiba-tiba semua orang merasa cukup ahli untuk menganalisis kebijakan moneter. Saya pun tergerak untuk menggali lebih dalam: mengapa negara ini begitu bergantung pada cabai?

Cabai adalah kebutuhan dasar, bukan sekadar pelengkap rasa. Namun, gagasan menanamnya sendiri sebagai solusi ekonomi nasional mengandung asumsi yang tak selalu berlaku.

Tidak semua orang memiliki pekarangan. Banyak yang tinggal di apartemen sempit, di rumah petak tanpa cahaya matahari cukup, atau dalam jadwal kerja yang tidak menyisakan waktu untuk menyiram tanaman. Mengandaikan bahwa setiap orang bisa menanam cabai di rumahnya adalah seperti berasumsi bahwa setiap orang bisa membuat roti sendiri untuk mengatasi kenaikan harga gandum.

Selain itu, cabai bukan mi instan. Ia tidak tumbuh dalam tiga menit. Dibutuhkan waktu tiga bulan dari benih hingga panen, dan pada saat itu, harga mungkin sudah kembali normal---atau malah lebih tinggi lagi. Ini membuat saran menteri terdengar lebih seperti strategi coping daripada solusi nyata.

Lebih jauh lagi, harga cabai yang fluktuatif juga mencerminkan ketidakseimbangan dalam rantai distribusi dan spekulasi pasar. Tengkulak sering kali memegang peran dominan dalam menentukan harga di tingkat petani dan konsumen. Ketika stok cabai menipis, harga melonjak tajam karena rantai distribusi yang panjang dan biaya logistik yang tinggi. 

Menanam cabai di rumah mungkin bisa membantu individu tertentu, tetapi tanpa reformasi distribusi, harga akan tetap tidak stabil.

Menanam Cabai: Aktivitas Terapeutik?

Saya membaca bahwa makanan pedas dapat memicu pelepasan endorfin, menciptakan sensasi euforia yang mirip dengan efek setelah berolahraga. Saya juga menemukan bahwa menanam cabai memiliki nilai terapeutik. Ada komunitas kecil di internet yang menganggap berkebun sebagai bentuk meditasi, cara untuk kembali terkoneksi dengan alam di tengah kehidupan yang serba digital.

Terdorong oleh ide ini, saya memutuskan untuk bereksperimen: saya akan menanam cabai sendiri. Jika tidak untuk menghemat uang, setidaknya demi pengalaman. Saya membeli benih, memilih cabai rawit yang katanya lebih cepat panen, dan mulai menanamnya dalam pot di halaman kecil saya. Saya pikir ini akan mudah. Saya salah.

Cabai tidak hanya membutuhkan tanah dan air, tetapi juga perhatian konstan. Hujan deras membuat beberapa bibit saya mati karena terlalu banyak air. Hama datang tanpa undangan, menyantap daun muda dengan kejam. Saya belajar bahwa menanam cabai adalah seni menyeimbangkan: antara sinar matahari dan bayangan, antara air dan drainase, antara harapan dan kenyataan.

Tapi setelah berminggu-minggu penuh frustrasi, muncullah bunga-bunga putih kecil. Ini pertanda baik. Saya merawatnya seperti seorang ilmuwan merawat eksperimennya---mencatat pertumbuhan, mengamati perubahan warna, menunggu dengan sabar sampai cabai-cabai kecil mulai memerah.

Namun, pertanyaan besar tetap menggelayut di benak saya: Jika semua orang menanam cabai, apakah harga benar-benar akan turun? Ataukah ini hanya akan mengacaukan pasar, membuat petani kecil kehilangan pendapatan mereka? Lagi pula, masalah pangan bukan sekadar soal berapa banyak yang bisa kita tanam, tetapi bagaimana distribusi dan regulasi diatur.

Lebih jauh lagi, ada elemen psikologis dalam ketergantungan kita pada pasar. Banyak orang lebih memilih kemudahan membeli daripada menanam sendiri. Konsumsi cepat telah menjadi norma, dan menanam sesuatu dari nol terasa seperti tantangan yang berat bagi sebagian besar masyarakat perkotaan. Maka, solusi "tanam sendiri" terasa lebih seperti jargon politik daripada strategi ketahanan pangan yang nyata.

Antara Kebijakan dan Realitas

Saya sampai pada beberapa kesimpulan penting:

  1. Menanam cabai itu menyenangkan, tapi bukan solusi instan. Dibutuhkan kesabaran dan keterampilan. Jika kita mulai menanam hanya ketika harga melonjak, kita baru akan menikmati hasilnya setelah siklus harga berubah.

  2. Tidak semua orang bisa menanam cabai. Ada keterbatasan ruang, waktu, dan pengetahuan. Menganjurkan kebun rumah sebagai solusi bagi semua orang mengabaikan kenyataan bahwa sebagian besar masyarakat urban hidup di ruang yang sempit dan sibuk.

  3. Solusi nyata ada di kebijakan, bukan di pekarangan rumah. Stabilisasi harga lebih bergantung pada distribusi yang baik, regulasi yang ketat terhadap tengkulak, dan strategi ketahanan pangan nasional yang lebih matang. Berkebun bisa membantu individu, tapi tidak bisa menyelesaikan masalah sistemik.

Jadi, mari kita menanam cabai---bukan karena kita berharap ini akan menyelamatkan ekonomi, tetapi karena ini adalah cara kecil untuk merasa lebih mandiri di tengah ketidakpastian. 

Saya akan terus merawat cabai saya, menikmati setiap gigitan pedasnya, dan pada saat yang sama menyadari bahwa perubahan nyata membutuhkan lebih dari sekadar sebuah pot dan beberapa biji. Ia membutuhkan sistem yang bekerja dengan baik, dan pemimpin yang memahami bahwa solusi ekonomi tidak bisa disamakan dengan hobi berkebun.

Saat saya berdiri di halaman kecil saya, memeriksa tanaman cabai yang perlahan matang, saya menyadari sesuatu: berkebun memang menyenangkan, tapi jika kita benar-benar peduli pada ketahanan pangan, kita perlu lebih dari sekadar sekop dan tanah. 

Kita butuh perubahan kebijakan. Sementara itu, saya akan menikmati sambal buatan sendiri---sebuah kemenangan kecil di tengah kebingungan ekonomi yang lebih besar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun