Belakangan, saya sudah (hampir) tidak mengkonsumsi berita sama sekali. Berita tentang kematian Fidel Castro saja, saya baru tahu belakangan. Bahkan, yang tergawat, dan terdahsyat, saya sempat ketinggalan berita tentang kepensiunan Steven Gerrard. Bagi saya berita tentang pensiunnya legenda Liverpool tersebut lebih besar dibanding peristiwa demo 411, atau terpilihnya Trump. Buat saya lho ya.
Jika dikatakan tidak mendapat asupan informasi sama sekali, itu salah. Saya masih menerima informasi dari teman-teman di sosial media. Baik itu berbentuk status, foto, video, atau tautan-tautan berita dari website-website guram sekalipun. Sedikit banyak saya mendapat informasi dari mereka. Dan saya merasa harus berterima kasih. Terima kasih!
Menjalani sekian bulan tanpa berita, ternyata membuat hidup saja jauh lebih bahagia. Jika dulu dikatakan bahwa berita penting bagi sumber informasi, ternyata sekarang saya merasa tidak kekurangan informasi. Hanya saja lebih menyaring asupan informasi yang ingin saya terima. Misalkan, saya masih mengikuti artikel-artikel atau berita feature mengenai lingkungan hidup atau humaniora di National Geographic. Atau saya masih rutin berbelanja buku dan menonton film untuk asupan informasi dan ilmu. Menurut saya, itu cukup. Karena hal-hal yang ingin saya ketahui, sudah terpenuhi dengan buku, film, atau website—seperti Natgeo, contohnya.
Merasa bahagia tanpa berita, rupanya tidak menjadikan saya berhenti menemukan informasi menyebalkan. Di sosial media—sebut saja Facebook, 50 persen teman saya ternyata bertransformasi menjadi pengamat politik. 20 persen lainnya telah menjadi ustad dadakan. 10 persen pertama adalah mereka yang merangkap sebagai pengamat politik sekaligus ustad. 10 kedua masih menyenangkan dengan memberikan konten-konten lucu dan menghibur. Sedangkan 10 persen sisanya saya tidak peduli.
Teman-teman yang menyebalkan adalah di tiga kategori utama, sekaligus yang lebih dominan, yaitu; pengamat politik, ustad dadakan, dan combo pengamat poltik ustad dadakan. Sebenarnya ketiganya memiliki kemiripan, yaitu pengikut setia Voldemort. Bukan. Tapi pengikut setia berita. Kemiripan yang Lainnya, yaitu, mereka mulai gencar bergerak seperti burung hantu mengincar tikus di tengah malam, yaitu sejak kasus Ahok dan demo 411. Atau setidaknya semenjak Pilpres terakhir. Ada yang pro dan kontra dalam hal ini. Itu wajar. Yang tidak wajar adalah menggunakan celana di kepala, dan berjalan menggunakan gigi.
Mengapa saya sebal dengan tipe teman-teman di tiga kategori tersebut? Jelas. Karena mereka mengusik kebahagiaan saya. Di saat saya ingin menutup semua panca indra terhadap pemberitaan, saya justru disuguhi komentar-komentar dan berbagai tautan yang mereka bagikan di sosial media. Di saat saya ingin haha-hihi melihat konten yang dibagikan teman-teman di golongan 10 persen kedua, saya justru melihat konten-konten yang menebar kebencian.
Tetapi, saya tipe orang yang selalu berhasil untuk melihat kelucuan di dalam setiap situasi. Termasuk di situasi menyebalkan yang saya temui di sosial media. Kelucuan pertama terdapat pada mereka yang menjadi ustad dadakan. Jago dalam hal mengkafirkan. Dan tidak sadar bahwa mereka sedang berorasi menggunakan sosial media buatan kafir. Menggunakan internet yang juga buatan kafir. Menggunakan ponsel atau komputer buatan kafir.Â
Kelucuan kedua lebih dominan terdapat pada golongan pengamat politik. Mereka merasa paling benar. Merasa paling paham politik. Sekaligus mengaku benci politik. Seolah dunia ini hanya berkutat di masalah politik. Seolah jika politikus idolanya dicederai atau diusik, maka dunia akan kiamat. Dan semua orang yang kontra dengan iman politiknya, adalah salah, dan musuh. Sekilas saya melihat mereka seperti Stormtroopers yang membela dan memuja dan melindungi mati-matian sang Darth Vader.
Sedangkan kelucuan ketiga. Sekaligus paling lucu, adalah mereka yang menganggap media massa penuh dengan kebohongan. Kelucuan ini terdapat pada ketiga golongan yang telah saya sebutkan. Media massa yang tidak memihak ideologi politik dan agamanya, dianggap sesat dan berat sebelah. Media yang memberitakan hal yang tidak disukainya, meskipun ternyata memang fakta, dianggap media kafir. Freemason. Illuminati. Yahudi. Komunis. Liberal. Federal. Polygon. Wimcycle.Â
Sekarang begini. Mereka menganggap hal yang disajikan oleh media massa adalah kebohongan. Penuh manipulasi. Saya sendiri pernah bekerja di media massa. Dan saya akui, banyak politik redaksi di dalamnya. Saya rasa hampir semua media seperti itu. Tetapi, bukan berarti semua yang disajikan adalah kebohongan. Jangan mentang-mentang berita yang disajikan tidak sesuai dengan ekspektasi, lantas dianggap media tersebut tidak kredibel. Bagaimana, jika ternyata fakta yang disajikan tersebut memang benar apa-adanya?
Saran saya, jika memang tidak percaya dengan berita, matikan saja televisi Anda. Gulung koran Anda. Dan jangan klik link-link berita yang tidak ingin Anda ketahui isinya. Beres. Analoginya begini, media massa adalah terminal bus. Di dalamnya terdapat banyak bus dengan berbagai jurusan. Lalu Anda masuk ke dalam bus jurusan Surabaya, padahal Anda sebenarnya ingin ke Medan. Sedangkan sebenarnya Anda sudah tahu bahwa bus itu menuju Surabaya. Namun ketika turun di terminal Osowilangun, Anda marah-marah karena sebenarnya Anda ingin ke Medan. Kan guob..
Contohnya begini. Ini contoh lho ya. Misalkan Anda benci dengan Ahok. Kemudian Anda nonton TV berita yang Anda anggap memihak Ahok. Lalu Anda marah-marah karena TV tersebut cenderung berat kepada Ahok. Kalau sudah begini, saya jadi bingung. Yang tolol itu siapa. Beritanya atau TV nya? Ya Anda sih tidak tolol. Justru cerdas sekali.
Saya sendiri tahu, berita itu tidak selamanya menyenangkan. Bahkan cenderung menyebalkan. Juga tidak selamanya jujur. Terlebih saya bertahun-tahun menjadi kuli di media massa. Maka dari itu, saya memutuskan untuk lebih menyaring informasi dari media yang saya inginkan saja. Dan setelah ini, saya putuskan juga untuk mengurangi akses ke sosial media demi mengurangi melihat ketololan di dalamnya. Kalau tidak suka, ya jangan dilihat. Sesederhana. Sesederhana rumah makan Padang.
Biarlah saya dinilai apatis terhadap situasi terkini, baik itu politik, ekonomi, hukum, dan sebagainya. Bahkan dinilai apatis terhadap bangsa. Yang penting hidup saya bahagia, dan asupan informasi yang saya peroleh pun cukup. Dan jujur saja, saya tidak tahu arah tulisan ini ke mana. Saya hanya ingin menulis saja. Curhat dengan Microsoft Word. Ciao!
Adia PP
Bandung, November 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H