Mohon tunggu...
Adian Saputra
Adian Saputra Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Menyukai tema jurnalisme, bahasa, sosial-budaya, sepak bola, dan lainnya. Saban hari mengurus wartalampung.id. Pembicara dan dosen jurnalisme di Prodi Pendidikan Bahasa Prancis FKIP Unila. Menulis enggak mesti jadi jurnalis. Itu keunggulan komparatif di bidang kerja yang kamu tekuni sekarang."

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menghafal Nama Orang, Ikhtiar Sederhana Manfaatnya Luar Biasa

25 Januari 2023   08:30 Diperbarui: 25 Januari 2023   11:19 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saya bersama Wakil Juru Bicara Kedutaan Besar Amerika Serikat Alexia Branch, November 2016. Dokumentasi Pribadi

Apa yang kita rasakan jika pada sebuah momentum resmi, seorang pembicara atau tokoh publik menyebut nama kita di depan umum? Padahal, perjumpaan kita dengan orang itu hanya satu kali yang itu pun kita sendiri sudah lupa.

Apa pula yang terjadi jika di sebuah kelas, seorang mahasiswa disebut oleh dosennya padahal ia sama sekali belum pernah berkenalan secara khusus dengan dosen itu?

Bagaimana pula ketika suatu waktu kita bertemu seseorang yang sudah lama tidak jumpa dan ia masih mengingat dan menyebut nama kita dengan lengkap?

Ya, sudah pasti, kita yang namanya disebut itu merasa senang. Kita bahagia karena orang itu masih mengenal kita padahal sudah lama tak berjumpa atau barangkali interaksi yang tidak begitu sering.

Di sisi lain, kita malah tidak mengingat dengan baik nama orang itu sehingga kala berjumpa kita butuh waktu banyak untuk berpikir siapa orang ini sebetulnya.

Di sinilah keutamaan menghafal nama orang dan mengingat-ingatnya dengan baik. Semua orang tidak mempunyai kemampuan seperti ini. Mereka yang bekerja dalam ranah publik sekalipun belum tentu punya kemampuan mengingat dan menghafal nama orang.

Misalnya, ada teman saya seorang dosen yang memang sulit untuk mengingat nama mahasiswanya. Saking sulitnya, dia sudah bikin pernyataan sejak awal.

Dia minta maaf kalau tidak bisa menghafal nama mahasiswanya satu per satu. Jadi, dia minta izin, interaksi di kelas tetap hangat meski ia tidak mengenal nama setiap mahasiswanya.

Namun, alangkah baiknya jika kita berusaha untuk mengingat nama orang itu dengan baik. Kesan yang ditimbulkan pasti baik.

Saya ingin memberikan beberapa contoh yang saya alami sendiri. Waktu masih mahasiswa, saya sudah rajin menulis opini ke surat kabar.

Suatu waktu, saya masuk kelas untuk mata kuliah bank dan lembaga keuangan lainnya. Nama dosen itu Nairobi. Namanya sama seperti nama ibu kota Kenya.

Waktu kuliah, di pertengahan waktu, tiba-tiba ia bertanya kepada kami. Ada sekitar lima puluhan orang di ruangan itu. 

Ia tanya tentang peran BI sebagai the last of the lender resort. Saya mengetahui jawaban itu karena memang cukup sering menulis soal perbankan di surat kabar.

Karena tidak ada yang mengacungkan tangan untuk menjawab, tiba-tiba beliau menunjuk seraya menyebut nama saya.

"Coba kamu, ya kamu, Adian Saputra, kan, jawab pertanyaan saya."

Saya jelas gelagapan. Bukan soal konten jawaban, melainkan kok beliau ini tahu dan bisa sebut nama saya dengan jelas dan benar. 

Padahal, sekalipun kami belum pernah bersua khusus dan berkenalan layaknya dua orang yang baru kenal.

Saya kemudian menjawab seperti pemahaman saya selama ini. Termasuk basis menulis soal perbankan dan Bank Indonesia di koran. Jawaban saya benar.

Yang bikin saya kaget, dosen ini kemudian bilang begini.

"Kita ini mesti bersyukur ada Adian di fakultas ini. Saya sering membaca tulisan dia di Lampung Post. Saya menandai bagian yang menarik dalam tulisan itu. Kalau kamu di kampus di Jakarta, Adian, kamu dapat honornya dobel. Honor dari surat kabar, honor juga dari kampus, karena kamu bawa nama baik kampus."

Serasa terbang rasanya. Saya kaget juga beliau rupanya membaca semua tulisan saya khususnya soal perbankan.

Sejak itu kami menjalin komunikasi yang hangat. Nairobi sekarang sudah menjadi dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lampung. Baru-baru ini ia ditetapkan sebagai guru besar.

Itulah sekelumit betapa bungahnya kita ketika dikenal orang dan orang itu bisa menyebut nama kita dengan baik. Padahal kami belum satu kali pun berjumpa khusus dan berkenalan.

Dari situ saya mendapat pelajaran penting. Dari situ pula saya membiasakan untuk berkenalan dengan banyak orang dan menghafal nama mereka, mengenali karakteristik khas wajah orang itu, dan mencatat nomor ponselnya.

Pelajaran menghafal nama orang itu kemudian saya terapkan ketika diminta menjadi dosen luar biasa atau dosen tamu di UIN Raden Intan Lampung. Saya mengajar mata kuliah Jurnalistik Islami untuk mahasiswa semester III Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) di Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi.

Awal mengajar dapat lima kelas. Satu kelasnya kurang lebih 30 orang.

Ketemu mereka tiap minggu sekitar lima belas pertemuan untuk satu semester. Dari situ, ikhtiar menghafal nama mereka saya lakukan. 

Memang lumayan berat. Namun, karena saya sejak awal menyukai relasi dengan orang lain, lama kelamaan gampang.

Apalagi interaksi di kelas juga intim. Mereka banyak yang bertanya.

Saya mengulang-ulang nama mereka. Setiap kali pertemuan saya mengabsen lisan mereka. Kata orang sih absen congor, ups, kasar tidak istilah ini ya, hahaha.

Karena sering diujarkan, nama mereka saya hafal satu per satu.

Kalau ada yang rada sulit namanya, saya kaitkan dengan sesuatu yang bikin saya ingat. Ada nama mahasiswi ujungnya Sandi. Saya ingatnya ke Sandiaga Uno saja sehingga mudah menghafal namanya.

Alhamdulillah ikhtiar menghafal nama itu bisa lancar. Nomor telepon mereka saya masukkan satu per satu, khususnya yang memang rajin di kelas, juga rajin mengerjakan tugas.

Kami berteman juga di Instagram dan Facebook. Tugas menulis mereka yang bagus-bagus saya unggah di web yang saya kelola.

Intisarinya, interaksi yang panjang bisa memudahkan kita menghafal nama mereka. Setakat ini saya tidak menemui kesulitan untuk bisa menghafal nama mereka satu per satu.

Yang cukup sulit jika bertemu orang sekali waktu. Kemudian durasi bertemu juga tak panjang.

Sebab itu, ketika kesempatan interaksi itu datang, segera menghafal nama orang ini, perhatikan kekhasan wajah kawan baru kita ini, kemudian catat nomor ponsel dan saling mengikuti di akun media sosial.

Dengan cara itu, kita bisa mengikat hafalan kita terhadap nama orang itu dengan lebih mudah.

Seorang mahasiswi beberapa waktu lalu kirim pesan WhatsApp kepada saya. Kepadanya dulu pernah saya sampaikan bahwa saya terbiasa menghafal nama orang.

Ia mengirim pesan mengucapkan terima kasih. Musababnya, dari penjelasan saya itu, ia kemudian berupaya menghafal nama orang.

Ia bercerita, dampaknya luar biasa, ia kini makin banyak teman dan banyak yang kaget ia mengenal nama teman-teman barunya dengan lengkap dan jelas. Alhamdulillah.

Relasi itu bisa kita artikan juga dengan silaturahmi. Relasi yang kita bangun ditunjang dengan kemampuan kita menghafal nama orang dan berinteraksi yang baik dengannya. Ini sama saja dengan memperlancar silaturahmi kita dengan orang lain.

Manfaat berinteraksi dan bersilaturahmi itu sangat banyak. Orang akhirnya mengenal kepribadian dan kemampuan kita. Bagi saya, itu pintu pembuka rezeki.

Dengan interaksi itu orang akhirnya tahu kita punya kemampuan di bidang jurnalistik misalnya. Dari situ, ketika ada acara yang berkenaan dengan itu, mereka banyak yang mereferensikan saya menjadi pembicara atau instrukturnya.

Di banyak kejadian, saya merasakan manfaat ini. Namun yang lebih asasi tentu saja ikhtiar merawat silaturahmi itu dengan baik sampai dengan sekarang.

Karena itu, kalau sekarang saya berjalan bersama keluarga, ada saja yang menegur. Entah itu dalam kesempatan santai saat joging, saat menonton film bersama istri, saat berbelanja bersama anak-anak, dan lainnya.

Dua anak saya, Nuh dan Mirai, kadang bilang sama ibunya.

"Bu, Abah ini kawannya banyak ya. Kayaknya ke mana-mana kita jalan, ada saja yang menyapa Abah."

Oh iya, jika disuruh menyebutkan kiat bagaimana kita bisa menghafal nama orang dengan baik, saya paparkan ringkasnya begini.

Pertama, jangan sungkan memulai perkenalan

Mungkin ada orang sungkan memulai perkenalan duluan. Kalau saya tidak.

Begitu bertemu orang baru, saya menyalaminya dengan hangat, memasang wajah paling manis, dan menyebutkan nama jelas. Kadang jika orang itu ada kesamaan atribut, misalnya, sama-sama satu sekolah di SMAN 2 Bandar Lampung, saya akan menyebutkan angkatan saya.

Biasanya orang itu kaget dan langsung membalas hangat jabat tangan saya.

"Adian Saputra, Bang. Saya Smanda angkatan 1997. Adik kelas, Abang."

Biasanya jika sikapi demikian, rekan bicara kita yang baru kenal itu akan terperanjat senang dan makin hangat relasi yang dibangun. Itu pengalaman saya ya, silakan dicoba.

Kedua, segera ingat kekhasan orang ini

Ini penting untuk interaksi di awal yang tidak lama. Namun, kita ada kesan khusus kepadanya.

Segeralah cari kekhasan orang ini agar kita lebih mudah mengingat-ingat namanya. Ucapkan itu berulang-ulang, tidak masalah.

"Oh, Mas Bambang ini alumni Smanda juga ya. Wah hebat ya Mas Bambang studi doktor ilmu komunikasinya di Australia. Oke, Mas Bambang, sampai jumpa lagi ya. Nomor ponsel Mas Bambang sudah saya simpan."

Dengan sering menyebut nama orang itu di kesempatan pertama, otak kita sudah menginderainya dan merekamnya dengan baik. Besok-besok kala berjumpa, ingatan itu akan muncul lagi dan lihat saja keajaibannya.

Ketiga, bahasa tubuh yang hangat

Kepada yang lebih tua, saya acap mencium tangan. Ini memang kebiasaan sejak kecil kepada orangtua kandung, kepada uwak, kepada paman, dan sepupu yang lebih tua. Bahasa tubuh semacam ini umumnya diingat orang dan memberikan kesan yang baik.

Demikian juga sekarang jika bertemu orang baru yang lebih tua. Saya terbiasa mencium tangan mereka dengan takzim.

Ini perilaku tidak dibuat-buat, memang alami saja. Namun, bagi yang belum terbiasa, mungkin baik juga dicoba.

Bahasa tubuh ini bisa juga berupa merangkul pundak seraya tertawa karena ada sesuatu yang lucu. Bisa juga dengan memegang lengannya dengan dua tangan kita seraya mengobrol hal yang ringan tapi berkesan, dan sebagainya.

Sekarang saya agak sering menyambangi beberapa guru saya sewaktu SMA dan kebanyakan sudah pensiun. Saya kadang mampir ke rumah beberapa guru dengan membawa buah tangan alakadarnya.

Tidak usah lama-lama bersilaturahminya. Kadang hanya di depan pintu, saya mencium takzim guru-guru saya sewaktu SMA dan mereka kaget didatangi saya.

Saat mereka mengajak ke dalam, saya menolak halus karena memang ingin sebentar saja.

"Ibu, Adian pamit ya. Sekadar mampir saja. Asal melihat ibu sehat, alhamdulillah." 

Sembari bilang begitu, tangan saya menggamit tangan guru tadi seraya menyelipkan amplop kecil sekadar tanda sayang saja.

Bahasa tubuh demikian, juga kepada mereka yang baru kita kenal, akan menimbulkan kesan yang baik. Kehangatan kita itu seraya menghafal namanya akan selalu diingat. 

Setidaknya, jika besok kita bertemu lagi dan dia lupa-lupa ingat, ujungnya akan ingat karena kita yang mengingatkan.

"Saya Adian, Bang. Tempo hari pernah ketemu di kantor Abang."

Biasanya jawaban yang kita terima, "Oh iya, iya, ingat sekarang. Apa kabarnya?"

Keempat, berinteraksi di media sosial

Sekarang kita relatif lebih mudah untuk mengingat nama seseorang. Apalagi kita sudah terhubung di media sosial. Karena itulah, komunikasi di media sosial juga dijaga dengan baik.

Simpel sebenarnya dan tidak membutuhkan alokasi waktu yang khusus dan lama.

Misalnya, teman baru kita mengunggah foto bersama keluarga. Kita bisa memberikan tanda suka di unggahan itu.

Supaya dia makin ingat dengan kita, tulis saja di kolom komentar. Yang paling lazim tentu saja doa. 

Itu doa yang bagus. Bukan sekadar basa-basi, melainkan memang doa yang tulus.

Misalnya ketika kawan baru kita mengunggah sebuah foto bersama keluarga, kita bisa memberikan komentar. 

"Sehat selalu, ya, Bro. Semoga dilancarkan semua urusannya."

Itu sudah cukup. Kita sudah meninggalkan jejak yang baik. 

Dari situ kita sama-sama mengentalkan pertemanan yang baru dirajut.

Dengan menghafal nama orang ini, interaksi kita bisa lebih luas. Akses kita juga jangkauannya lebih luas.

Kita juga sudah mematrikan diri kita sebagai orang yang suka berteman dengan siapa saja. Inilah kemanfaatan yang luar biasa. 

Bertemu dengan banyak orang dan kita mengenal dengan baik, tentu saja menyenangkan.

Ini sama menyenangkannya ketika kita menjadi episentrum dari sebuah relasi. Saya misalnya sering menjadi perantara perkenalan antarteman.

Karena kedua-duanya teman saya, saya kemudian mempertemukan dan mengenalkan satu sama lain. Ini juga sebuah kebahagiaan tersendiri karena orang merajut silaturahminya lewat perantara kita. Semoga bermanfaat. [Adian Saputra]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun