Sudah bukan hal asing jika kita menemui lowongan kerja (loker) yang mencantumkan persyaratan good looking dan batas usia. Dua syarat ini jelas bersifat diskriminatif. Apakah orang-orang yang secara penampilan/secara fisik tidak menarik atau yang usianya melewati batas usia tidak berhak mendapatkan pekerjaan? Tidak butuh makan?
Pemerintah akhirnya mengambil langkah dengan menghapus persyaratan ini. Namun, apakah langkah ini sudah cukup? Tentu tidak. Masih banyak persoalan lain yang perlu diperhatikan dan dibenahi.
Syarat Pengalaman yang Tak Masuk Akal
Meminta pengalaman kerja sebagai persyaratan adalah hal yang wajar. Namun, tidak sedikit rekruter yang mencantumkan jumlah tahun pengalaman yang tidak masuk akal, bahkan seringkali disandingkan dengan batasan usia.
Misalnya, “usia maksimal 20 tahun, pengalaman kerja 30 tahun.” Apakah sedari usia satu tahun seseorang sudah harus bekerja?
Memang ada sebagian orang yang mungkin bekerja sambil sekolah/kuliah, misalnya menjadi content creator di tiktok atau menjadi crew part-time di restoran. Namun tetap saja, apakah masuk akal jika seseorang yang berusia 20 tahun diminta memiliki pengalaman 30 tahun di bidang apa pun?
Maraknya Lowongan Kerja Bermasalah
Selain syarat batas umur dan good looking yang bermasalah, salah satu permasalahan lain ialah banyaknya loker yang mencurigakan. Banyak lowongan yang semestinya wajar justru terlihat mencurigakan karena minim informasi dan transparansi.
Misalnya, setelah seseorang yang melihat informasi lowongan, ia tertarik dengan lowongan ini dan mengikuti cara pelamaran. Tak jarang, para pencari kerja (pencaker) diarahkan ke ruko antah-berantah (ruko yang perusahaannya tidak jelas indentitasnya dan keabsahannya).
Sesampainya di sana, para pencaker yang mengharapkan pekerjaan malah membayar uang sebagai syarat masuk. Belum lagi praktik penahanan ijazah (dan mungkin dokumen penting lainnya) oleh perusahaan. Ini adalah bentuk pemaksaan agar pekerja tidak keluar jika tidak mereka harus menebusnya. Padahal jika ingin mempertahankan pekerja adalah dengan memberikan mereka upah yang layak dan hak yang sudah seharusnya.
Ditambah, job desk yang seharusnya dikerjakan 2-4 orang dibebankan kepada satu orang. Parahnya gaji yang diterima hanya job desk untuk satu orang.
Pemerintah Tidak Hadir untuk Masyarakat
Permasalahan di atas sebenarnya tidak perlu terjadi jika pemerintah benar-benar hadir dan aktif untuk melindungi masyarakat. Sayangnya, ini masih jauh dari harapan.
Contoh nyata baru-baru ini terjadi pada job fair “Bekasi Pasti Kerja” di Bekasi, 27 Mei 2025 yang ricuh. Sekitar 20 ribuan pencaker menghadiri job fair ini. Kericuhan terjadi hanya untuk scan qr code.
Kondisi ini membuktikan bahwa jumlah pencari kerja jauh lebih besar daripada lapangan kerja yang tersedia. Namun, pernyataan dari pejabat yang menyebut bahwa “keramaian job fair bukan pertanda sulit kerja” jelas mengabaikan realitas yang ada.
Harapan untuk Pemerintah
Ini yang perlu kita sama-sama dorong kepada pemerintah, bukan hanya soal menghapus satu-dua syarat rekrutmen. Ini tentang menciptakan sistem ketenagakerjaan yang adil, manusiawi, dan inklusif.
Sudah saatnya pemerintah untuk:
- Memperbaiki sistem yang bermasalah
- Menjamin lapangan kerja yang layak dan cukup,
- Melakukan pengawasan serius terhadap rekrutmen fiktif atau bermasalah,
- Memastikan tidak ada praktik manipulatif terhadap pencari kerja,
- Memastikan hak-hak pekerja terpenuhi.
Jika dilakukan dengan serius, langkah-langkah tersebut bukan hanya akan menurunkan angka pengangguran, tetapi juga berdampak positif pada ekonomi negara melalui peningkatan penerimaan pajak.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI