Mohon tunggu...
Adhi Kurniawan
Adhi Kurniawan Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Fans berat nasi pecel yang suka jalan-jalan dan foto-foto, saat ini tinggal di Jakarta dan sering pulang ke Ambarawa.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Menebus Hutang kepada Bumi

9 Maret 2016   09:48 Diperbarui: 9 Maret 2016   10:39 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Reklamasi"][/caption]Pada prinsipnya kegiatan pertambangan adalah mengambil sesuatu dari Bumi. Alam yang ditambang tak lagi bisa  kembali seperti semula. Material bernilai ekonomis diambil, sementera materi yang tak bermanfaat akan ditinggalkan. Ibarat dua sisi mata uang, isu kerusakan lingkungan selalu ada bersamaan dalam setiap kegiatan pertambangan. Menjadi penting bagaimana suatu perusahaan tambang memperlakukan Bumi setelah memperoleh keuntungan darinya.

Sumbawa saat itu sedang panas terik. Seolah matahari berada lebih dekat dengan bumi. Debu-debu beterbangan saat truk-truk raksasa melintas di jalur yang menghubungkan lokasi tambang ke pabrik pengolahan. Tak main-main. Sekali angkut, sekitar 240 ton batuan terbawa. Lubang perut Bumi yang digali lebih dahsyat lagi. Lubang tambang yang disebut pit itu memiliki diameter mencapai 2,4 kilometer dengan kedalaman mencapai 540 meter. Miris juga melihat lubang sebesar itu. Setiap hari batuan yang ditambang berkisar 100.000 hingga 140.000 ton.

Realita itulah yang kami lihat secara langsung saat berkunjung ke lokasi tambang Batu Hijau di Sumbawa Barat. Tambang yang dikelola oleh PT Newmont Nusa Tenggara (PT NTT) itu menghasilkan tembaga dan emas. Hitungan kasarnya, setiap ton batuan yang ditambang akan menghasilkan lima hingga sepuluh kilogram tembaga dan setengah gram emas. Dengan skala penambangan yang begitu masif, pertanyaan tentang pengelolaan lingkungan lantas menyeruak. Bagaimana alam dipulihkan setelah diambil manfaatnya harus terjawab secara jelas dan transparan.

Kontrak karya PT NTT dengan pemerintah Indonesia disetujui pada tahun 1986. Sebagai salah satu syaratnya, PT NTT harus memiliki AMDAL atau Analisis Mengenai Dampak Lingkungan sebelum memulai operasi. Semua potensi dampak pertambangan terhadap tanah, air, udara, sumber-sumber biologis dan sosial harus dapat dipetakan, baik sebelum, selama, hingga sesudah kegiatan pertambangan selesai dilakukan. Pengelolaan dan pemantauan harus dilakukan untuk meminimalisasi potensi dampak negatif terhadap lingkungan.

Dalam perencanaan pertambangan, kegiatan penambangan di Batu Hijau terbagi dalam tujuh fase yang dimulai sejak tahun 2000. Tahun 2016 ini penambangan sudah memasuki fase keenam. Rehabilitasi dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan. Jika suatu fase penambangan sudah selesai, penambangan akan berlanjut ke fase berikutnya. Area yang sudah tidak lagi ditambang akan segera direklamasi. Dalam proses penambangan, yang diambil adalah batuan dengan kandungan mineral. Lapisan tanah yang ada di atasnya diambil lalu disimpan di tempat yang disebut soil stockpile. Material tanah itulah yang digunakan untuk reklamasi.

Dinding pit diratakan dengan tanah hingga mencapai kemiringan tertentu yang memungkinkan bisa menyimpan air dan tanaman dapat tumbuh. Lapisan tersebut kemudian dipadatkan. Setelah lahan siap, berikutnya dilakukan revegetasi atau penanaman kembali. Bibit yang ditanam adalah jenis tanaman yang dapat membentuk vegetasi rapat sehingga bisa mengembalikan kondisi menyerupai hutan seperti semula. Saat mengunjungi area reklamasi dalam rangkaian kegiatan bootcamp, peserta diajak melakukan revegetasi. Bibit yang ditanam adalah pohon ipil. Pohon ini dapat mencapai usia hingga lebih dari 100 tahun. Hingga akhir Februari 2016, bibit yang disemai sebanyak 42.000. Target reklamasi lahan tahun ini adalah 35 hektar. Reklamasi dianggap berhasil jika dalam setiap hektar area dapat tumbuh 625 pohon besar. Hingga tahun 2016, keseluruhan lahan yang sudah direklamasi adalah 799 hektar.

[caption caption="Lubang tambang yang digali PT NNT"]

[/caption]Selain reklamasi lahan, aspek yang tak kalah penting adalah penanganan air tambang. Di dasar pit terdapat genangan air yang cukup luas dan dalam. Saat musim penghujan tiba, volume genangan air tersebut akan meningkat. Jika dipandang dari jauh, genangan air tambang itu memang tampak mempesona. Warnanya hijau tosca, sekilas seperti kawah Danau Kelimutu di Flores. Namun, air tambang tersebut berbahaya karena mengandung mineral terlarut yang bersifat asam. Tingkat pH air tambang tersebut mencapai 2 sampai 3.

PT NNT membuat suatu sistem tertutup untuk mengelola air tambang. Air tersebut dipompa melalui pipa dari dasar pit menuju kolam-kolam katala. Di kolam tersebut kandungan mineral yang terlarut dalam air diendapkan. Selanjutnya, air dialirkan ke dam penampung. Ada tiga dam, yaitu Santong I, Santong II, dan Santong III. Air tambang ditampung secara bertahap di tiga dam tersebut dan dipantau kualitasnya. Apabila kondisi air sudah memenuhi baku mutu, barulah air tersebut dialirkan keluar dari area tambang ke lingkungan bebas. PT NNT juga membangun saluran pengalih di sekeliling area Batu Hijau. Saluran tersebut berfungsi memisahkan air alami yang meresap dari hutan atau pegunungan agar tidak tercampur air dari dalam lokasi tambang.

Isu paling krusial dalam hubungan pertambangan dengan lingkungan adalah tentang pembuangan tailing. Dalam setiap aktivitas pertambangan, tailing adalah sesuatu yang pasti dihasilkan dan tidak bisa dieliminasi. Tailing merupakan produk akhir dari proses pertambangan yang memiliki karakteristik dasar serupa dengan bijih maupun konsentrat (link ke tulisan sebelumnya). Namun, tailing tidak lagi mengandung mineral bernilai ekonomis. PT NNT menggunakan metode fisika dalam mengolah bijih. Unsur kimia yang digunakan hanyalah reagen sebagai pengubah sifat permukaan bijih. Reagen mudah terurai. Berdasarkan hasil pengujian berkala yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Oceanografi LIPI, tailing yang dihasilkan dari tambang Batu Hijau tidak mengandung unsur yang beracun.

Ada dua alternatif dalam mengelola tailing. Pertama, tailing ditempatkan di darat dengan membuat dam penampungan. Kedua, tailing dialirkan ke laut menuju palung yang ada di selatan Sumbawa. Jika tailing ditempatkan di darat, lahan yang dibutuhkan untuk membuat dam adalah sekitar 2.100 hektar. Pembangunan dam seluas itu dapat menggusur hutan dan lahan pertanian produktif. Tingkat curah hujan di area Batu Hijau sekitar 2.500 milimeter per tahun. Hal tersebut akan membuat air di dalam dam penampung sulit dikelola. Selain itu, Sumbawa berada di lempeng tektonik yang rawan gempa. Apabila dinding dam retak akibat gempa dan tailing mengalir ke area pemukiman warga, dampak negatif yang ditimbulkan akan sangat besar.

Dengan berbagai pertimbangan teknis dan ilmiah, dipilih alternatif kedua. Tailing dari pabrik pengolahan dialirkan melalui pipa menuju palung laut di Teluk Senunu. Ujung pipa berada 125 meter dari permukaan laut dan berjarak 3,2 kilometer dari tepi pantai. Berat jenis tailing lebih besar dibanding air laut sehingga secara alami tailing akan mengendap di dasar palung dengan kedalaman 4.000 meter. Metode penempatan tailing ini dikenal dengan istilah Deep Sea Tailing Placement. Metode semacam ini digunakan dalam aktivitas pertambangan di Inggris, Perancis, Cile, Norwegia, dan Turki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun