Secara teori, diplomasi lingkungan dipahami sebagai diplomasi yang hanya berurusan dengan isu-isu lingkungan.Â
Namun dalam praktiknya, diplomasi lingkungan secara teratur berurusan dengan banyak tema lain yang terkait dengan perdagangan (perdagangan spesies yang terancam punah, misalnya), kekayaan intelektual (seperti hak penduduk asli dan lokal mengenai penggunaan sumber daya genetik alami), energi (mencapai tujuan untuk mengurangi gas rumah kaca, penggunaan biofuel, dll.), kesehatan (antara lain, dampak kesehatan dari mengkonsumsi organisme hasil rekayasa genetika-GMO), dan bahkan keamanan (konsekuensi pemanasan global pada migrasi transnasional, misalnya) .
Indonesia berkomitmen melakukan diplomasi lingkungan hidup guna berkontribusi secara aktif dalam pencapaian agenda pembangunan berkelanjutan pada 2030. Peran aktif dan kontribusi nyata dari diplomasi lingkungan hidup Indonesia telah diakui oleh dunia internasional.
Pada tulisan saya kali ini saya ingin menganalisis tentang diplomasi Indonesia dan Malaysia terkait kebakaran hutan dan lahan di Indonesia pada tahun 2015-2019. Hal ini sangat menarik dibahas karena mengingat Indonesia menjadi negara sebagai sumber kabut asap di kawasan Asia Tenggara. Penyebab utama kabut asap di Indonesia adalah dari kebakaran hutan dan lahan.
Negara Indonesia menjadi negara dengan kasus kebakaran hutan terbesar di kawasan Asia Tenggara. Kebakaran hutan dan lahan yang paling besar terjadi pada tahun 2015 yang membakar sekitar setengah dari total keseluruhan lahan di Indonesia yakni 2.270.224,89 ha.
Berdasarkan publikasi Bank Dunia (2019) dengan judul Indonesia Economic Quarterly Reports (IEQ), kerugian Indonesia dampak kebakaran hutan dan lahan sepanjang 2019 mencapai Rp72,95 Triliun. Hal ini mengakibatkan 28 juta jiwa terdampak, 19 orang meninggal dunia dan hampir 500 ribu orang mengalami gangguan pernafasan atau ISPA.Â
Pemerintah Malaysia menguggat pemerintah Indonesia atas kabut asap akibat kebakaran hutan tersebut. Dalam surat desakan yang ditandatangani oleh Guru Besar Universitas Malaya, Khor Swee Kheng, mereka menuntut pemerintah Indonesia untuk bertanggung jawab.Â
Diketahui bahwa pemerintah Indonesia menolak bantuan Malaysia untuk menangani kasus kebakaran hutan dan lahan yang menyebabkan kabut asap hingga ke kawasan Malaysia. Kasus kabut asap kebakaran hutan ini sempat menjadi polemik hubungan antara Indonesia dengan Malaysia.
Dalam hal ini kepentingan nasional Indonesia adalah kerugian kayu, pertanian, perkebunan, produksi hutan, keanekaragaman hayati, pelepasan karbon, biaya pemadaman kebakaran, gangguan kesehatan, transportasi, dan pariwisata. Upaya pemerintah Indonesia pada orientasi kebijakan luar negeri Indonesia dalam merespon isu kebakaran hutan dan lahan tercantum dalam UU Nomor 23 Tahun 1997 Pasal 1 ayat (12) tentang pengelolaan lingkungan hidup.Â
Diplomasi Lingkungan dilakukan oleh Indonesia untuk menangani permasalahan kabut asap akibat kebakaran hutan tersebut. Diplomasi lingkungan yang dilakukan ini sebagai jalan tengah agar hubungan bilateral antara Indonesia dengan Malaysia tidak semakin memanas.
Diplomasi yang dilakukan antara lain adalah melakukan patroli di udara dalam menangani kabut asap dan memberi peringatan kepada masyarakat untuk tidak beraktivitas di luar rumah. Diplomasi diantara keduanya mengalami perkembangan, berupa perjanjian bilateral mengenai penanggulangan kabut asap dari kebakaran hutan.Â