Mohon tunggu...
Adhe Ismail Ananda
Adhe Ismail Ananda Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang

 من عرف نفسه فقد عرف ربه

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Quo Vadis KPK Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

15 Mei 2021   17:00 Diperbarui: 15 Mei 2021   18:37 531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Adhe Ismail Ananda, S.H., M.H. *)

KPK dalam tugasnya melakukan tindakan pro justisia sekaligus dalam komposisinya sebagai bagian dari rumpun kekuasaan eksekutif, menurut Milakovich dan Gordon dapat disebut sebagai dependent regulatory agencies. Yaitu Lembaga bagian dari struktur eksekutif yang konsekuensinya tidak dapat bersikap independent, utamanya dalam hal-hal yang berkaitan dengan pemertintah itu sendiri.

Selain masalah KPK secara struktur kelembagaan, ketentuan mengenai status pegawai KPK yang berasal dari Aparatur Sipil Negara menjadi masalah lain dan ujian bagi independensi KPK kedepannya.

Dalam berkas putusan terkait uji formil dan materi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk perkara Nomor 70/PUU-XVII/2019, Majelis Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan, peralihan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi aparatur sipil negara (ASN) tidak boleh merugikan pegawai KPK, sesuai hak-hak yang didapatkannya.

Berdasarkan hal tersebut putusan MK mengamini ketentuan dari revisi UU KPK, sehingga pegawai tetap KPK akan berubah status kepegawainnnya menjadi ASN yang terdiri dari Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) dan ASN. Merujuk pada UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, pegawai tetap KPK non ASN akan masuk dalam kategori dari P3K. Sedangkan pegawai negeri yang diperkerjakan akan berstatus sebagai ASN. Kondisi inilah yang juga penulis anggap akan menjadi ujian dan berpotensi menghilangkan independensi KPK kedepannya. Independensi dalam hal ini bukan independensi secara norma, tetapi dalam hal menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pegawai KPK yaitu dalam penanganan perkara tipikor bukan lagi menjadi fokus utama, karena pegawai KPK nantinya akan disibukkan juga dengan sistem kenaikan pangkat dan pengawasan sampai mutasi.

Salah satu dampaknya adalah Wadah Pegawai KPK yang diatur dalam PP No 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen SDM KPK yang dibentuk guna menampung dan menyampaikan aspirasi kepada Pimpinan Komisi sangat potensial digantikan oleh KORPRI, karena seluruh ASN harus tergabung dalam wadah tunggal korpri sehingga tidak akan ada lembaga yang mewakili kepentingan pegawai KPK. Hal yang dikhawatirkan apabila anggota KPK ASN maka akan terjalin keterikatan dengan pemerintah eksekutif. Seperti yang kita ketahui sistem ini mirip dengan sistem Kepolisan dan Kejaksan, yang mana sistem ini menganut sistem komando. Sehingga ruang gerak KPK sangat terbatas yang mengakibatkan apabila tidak mengikuti komando maka akan adanya sanksi kode etik yang diberikan. Padahal kasus yang ditangani KPK selalu berisi pejabat tinggi negara Indonesia. Kondisi inilah yang kemudian menjadi salah satu alasan kuat dan membuat berbagai elemen baik itu akademisi, pemerhati hukum, dan berbagai elemen lainnya menyatakan bahwa KPK LEBIH BAIK BUBAR SAJA.

*) Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara di Institut Agama Islam Al Mawaddah Warrahmah Kolaka

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun