Mohon tunggu...
ADE SETIAWAN
ADE SETIAWAN Mohon Tunggu... Kepala Puskeswan Pandeglang

All is Well

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Muludan, Antara Tradisi dan Syiar Islam

8 September 2025   22:23 Diperbarui: 9 September 2025   17:07 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pawai Keliling Merayakan Muludan Warga Kampung Wa'as Desa Cadasari Kabupaten Pandeglang, 9 September 2025 (Foto: Dokumentasi Pribadi)***

“Muludan di Banten bukan sekadar tradisi merayakan kelahiran Nabi, tapi juga cara masyarakat menjaga silaturahmi, menebar syiar Islam, dan merawat jati diri keislaman yang sudah mengakar sejak lama”

Dua pekan terakhir, daerah saya dipenuhi beragam kegiatan untuk menyambut hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dalam bahasa lokal, perayaan ini disebut “Muludan”, istilah yang berasal dari bahasa Arab Maulid yang berarti “kelahiran.”

Secara etimologi kata Maulid kemudian dilafalkan sesuai lidah masyarakat Banten – mungkin sebagian besar di Nusantara - menjadi “Mulud”.

Seiring waktu, setiap kegiatan yang berhubungan dengan peringatan Maulid Nabi disebut sebagai “Muludan,” yakni rangkaian acara yang digelar setiap bulan Rabiul Awal. Bahkan, di kampung saya, bulan ini pun akrab disebut “bulan Mulud.”

Di Provinsi Banten, khususnya Banten Selatan yang mencakup Kabupaten Pandeglang dan Lebak, Muludan menjadi salah satu peringatan penting dalam tradisi Islam. Sepengetahuan saya, kemeriahannya bahkan bisa disebut sebagai perayaan terbesar ketiga yang melibatkan konsentrasi massa dalam jumlah besar, setelah Idul Fitri (Lebaran) dan Idul Adha (Lebaran Haji).

Setiap tahun, umat Islam merayakan Muludan sebagai bentuk cinta dan penghormatan kepada Rasulullah SAW. Perayaan biasanya digelar di masjid-masjid, mulai dari tingkat kampung atau RW, desa, kecamatan, pesantren dan sekolah, hingga masjid besar di kabupaten dan provinsi.

Di masjid kampung tempat saya tinggal, persiapan Muludan bahkan sudah dilakukan sebulan sebelumnya. Panitia rapat, masyarakat bergotong royong menggalang dana infak dan sedekah, serta menyusun apa saja yang perlu dipersiapkan untuk hari H. Biasanya, acara diisi dengan menghadirkan penceramah dari luar daerah.

Momen ini menjadi wadah bagi masyarakat dari berbagai lapisan untuk berkumpul, bergotong royong, saling berbagi dan merayakan dengan penuh kebersamaan. Hal tersebut mencerminkan wajah Islam yang ramah, inklusif, dan berakar kuat pada tradisi lokal.

Awal Mula Tradisi Maulid hingga Muludan di Banten

Para sejarawan Islam dan ahli hadis sepakat bahwa peringatan Maulid Nabi belum dikenal pada masa awal Islam, hingga kemudian diperkenalkan pada abad ke-12 Masehi atau tahun 580 Hijriyah, tepatnya di era Sultan Salahuddin Al-Ayyubi.

Saat itu, dunia Islam sedang menghadapi tantangan besar dari Perang Salib. Untuk mengobarkan semangat umat, Sultan mendorong masyarakat agar lebih mendekatkan diri kepada Rasulullah. Salah satu caranya adalah dengan memperingati hari kelahiran Nabi melalui pembacaan kisah hidup, doa, dan shalawat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun