Mohon tunggu...
ADE SETIAWAN
ADE SETIAWAN Mohon Tunggu... Kepala Puskeswan Pandeglang

All is Well

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Fenomena Sampah: Antara Musibah, Berkah, dan Cuan

23 Agustus 2025   01:02 Diperbarui: 23 Agustus 2025   20:56 1162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana kawasan lingkungan TPA Bangkonol Jumat 22 Agustus 2025 (Foto: Dokumentasi Pribadi) 

Dengan tata kelola yang tepat, sampah dapat berubah dari masalah menjadi harapan bagi lingkungan dan masyarakat.

Sebulan belakangan ini, fenomena sampah menjadi perbincangan hangat di daerah tempat saya bekerja. Topiknya terkait rencana pemerintah daerah (pemda) yang akan menampung sampah dari kota lain untuk dibuang ke salah satu Tempat Penampungan Akhir (TPA) setempat pada tahun ini.

Sebelumnya, perjanjian kerja sama lintas wilayah terkait pengiriman sampah dari kabupaten lain sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 2024.

Namun, karena dirasakan dampak negatifnya, sejumlah warga setempat mengeluh bahwa sampah dari luar kabupaten tersebut memperparah bau di TPA. Padahal, sejak awal TPA dirancang hanya untuk pembuangan sampah lokal, bukan dari luar daerah.

Nah, disini ceritanya ada dua daerah (kabupaten dan kota) yang berminat mengirimkan sampahnya ke lokasi TPA tersebut. Namun, alih-alih mendapat dukungan, kebijakan kerja sama ini justru menimbulkan pro kontra dari berbagai pihak.

Menurut saya, ide menampung sampah dari daerah lain bisa dibilang solusi instan yang terlalu sederhana. Pasalnya, hanya lantaran suatu daerah kesulitan menampung sampah wilayahnya sendiri, sampahnya kemudian dibawa ke daerah lain yang memiliki lahan TPA lebih luas. Sesederhana itu solusinya. Di atas kertas tentu solusi ini tampaknya praktis, namun dalam kenyataannya tidak semudah itu bisa diterapkan.

Meski begitu, jika gagasan ini berjalan baik, sebenarnya ada banyak hal positif yang bisa diperoleh. Daerah penerima dapat mendapat pemasukan tambahan melalui dana kompensasi yang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan.

Selain itu, hadirnya aktivitas pengelolaan sampah dalam skala besar juga dapat membuka peluang lapangan kerja baru bagi masyarakat setempat.

Lantas, mengapa rencana menampung kiriman sampah dari daerah lain ini ditolak?

Rencana menampung pengiriman sampah dari luar daerah tidak sepenuhnya didukung oleh masyarakat setempat. Mereka lebih meyakini dampak negatif dibandingkan manfaatnya.

Alasan penolakan pun beragam, mulai dari masalah kesehatan, pencemaran lingkungan, hingga sistem pengelolaan sampah di TPA saat ini yang dinilai belum memadai. Kondisi tersebut berpotensi menimbulkan berbagai persoalan.

Adapun pokok persoalan yang banyak muncul dalam berbagai pemberitaan adalah, sampah dari dalam daerah saja belum tertangani dengan baik, apalagi jika harus menampung sampah dari luar.

Hal ini terlihat dari sistem pengelolaan sampah di TPA yang hingga kini terkesan hanya "asal buang dan tumpuk" atau pembuangan secara terbuka. Metode ini dikenal sebagai open dumping , yaitu sampah ditumpuk begitu saja di atas tanah.

Padahal, praktik open dumping sudah dilarang di Indonesia melalui UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, karena terbukti tidak ramah lingkungan.

Akibat cara pengelolaan tersebut, bau menyengat dan polusi udara menjadi dampak paling dirasakan warga yang tinggal di dekat TPA. Sampah juga berpotensi menjadi sarang vektor penyakit seperti lalat, tikus, dan nyamuk yang dapat menyebarkan penyakit akibat lingkungan kotor.

Selain itu, metode open dumping bisa mencemari udara tanah maupun udara permukaan melalui rembesan lindi yang tidak diolah. Terlebih lagi, ada risiko kebakaran akibat gas metana yang menumpuk.

Belakangan ini, penolakan terhadap kebijakan pemda tersebut tidak hanya datang dari warga sekitar TPA. Dukungan penolakan juga mengalir dari berbagai organisasi dan lembaga nonpemerintah, yang menyuarakan ketidakpuasan mereka melalui aksi unjuk rasa, pemberitaan media massa, maupun kampanye di media sosial.

Lalu, bagaimana respon pemerintah menghadapi aksi penolakan tersebut?

Pemda setempat belum lama ini melakukan inspeksi mendadak di lokasi TPA yang letaknya tidak begitu jauh (sekitar 4 km) dari pendopo, tempat para pejabat daerah berkantor. Sejumlah pejabat turun langsung meninjau situasi dan kondisi TPA yang berada di Kampung Kepuh, Desa Bangkonol, Kecamatan Koroncong.

Di lokasi tersebut, para pejabat berdialog dengan warga sekitar dan menyaksikan langsung kenyataan bahwa pengelolaan sampah memang diakui belum berjalan optimal. "Untuk ke depannya, kami pastikan agar pengelolaannya bisa lebih baik lagi," tegas Bupati Pandeglang didampingi sejumlah pejabat pemda setempat, dikutip dari berbagai media yang meliput kegiatan itu.

Pada titik ini, pemda dan masyarakat sebenarnya sudah mulai melakukan kompromi untuk mencari jalan keluar dari perspektif kedua belah pihak. Keduanya sama-sama menginginkan adanya "win-win solution" terkait pengelolaan TPA sampah yang hingga kini masih menjadi polemik di tengah masyarakat.

Dari sudut pandang masyarakat, sampah lebih banyak dipersepsikan secara negatif karena kekhawatiran terhadap kesehatan dan kenyamanan lingkungan hidup mereka.

Sementara itu, dari sisi pemda, sudah ada itikad baik dengan memberikan jaminan untuk melakukan pengelolaan sampah yang lebih efektif. Harapannya, hal ini mampu mengurangi risiko kesehatan masyarakat sekaligus menjaga kualitas lingkungan agar tidak merugikan warga sekitar. 

Antara Musibah, Berkah, dan Cuan

Dalam jumlah kecil, sampah sering kali dianggap sepele. Misalnya, dalam skala rumah tangga, keberadaan sampah masih dipandang ringan dan mudah ditangani.

Pengelolaannya pun relatif sederhana, cukup dengan memilah antara sampah basah (organik) dan sampah kering (anorganik). Setelah dipilah, sampah biasanya dikumpulkan terlebih dahulu sebelum akhirnya dibawa ke TPA.

Namun, ketika sampah terkumpul dalam jumlah yang sangat besar seperti di TPA, pengelolaannya menjadi jauh lebih kompleks. Ratusan bahkan ribuan ton sampah menumpuk setiap hari, menimbulkan beragam masalah teknis, lingkungan, hingga sosial. Mulai dari bau menyengat, potensi penyakit, risiko pencemaran lingkungan, hingga konflik dengan masyarakat sekitar.

Pertanyaannya, apa sesungguhnya yang menjadi kekhawatiran masyarakat terhadap sampah yang menumpuk di TPA dan tidak dikelola dengan baik?

Dari berbagai literatur dan informasi masyarakat, setidaknya ada empat poin utama yang menjadi kekhawatiran terkait sampah yang menumpuk di TPA dan tidak dikelola dengan baik:

1. Bau Menyengat dan Polusi Udara

TPA menjadi tempat berkumpulnya berbagai jenis sampah, terutama sampah organik yang membusuk. Proses dekomposisi anaerobik (tanpa oksigen) ini menghasilkan gas metana, amonia, dan hidrogen sulfida yang menimbulkan bau menyengat. Bau tak sedap ini tidak hanya mengganggu kenyamanan warga sekitar, tetapi juga menurunkan kualitas udara serta mempengaruhi kesehatan pernapasan.

Belum lagi aktivitas hilir-mudik truk sampah setiap hari. Selain menimbulkan gangguan dan membawa bau yang tajam, truk bermuatan berat juga mempercepat kerusakan jalan desa yang dilaluinya.

2. Potensi Gangguan Kesehatan Masyarakat

TPA yang tidak dikelola dengan baik dipandang sebagai ancaman langsung bagi kesehatan masyarakat. Sampah organik yang membusuk menjadi tempat berkembang biaknya bakteri, virus, dan jamur penyebab berbagai penyakit infeksi.

Selain itu, TPA sering kali menjadi habitat ideal bagi vektor penyakit menular seperti lalat, nyamuk, dan tikus. Vektor ini dapat menyebarkan penyakit diare, demam berdarah, leptospirosis, hingga penyakit kulit.

Kemudian, polusi udara dari gas metana dan amonia juga menurunkan kualitas udara, menimbulkan gangguan pernapasan, sakit kepala, stres psikologis, dan membuat warga enggan beraktivitas di luar rumah.

3. Risiko Pencemaran Lingkungan

Tanpa sistem dan teknologi pengolahan yang memadai, hasil lindi yang dihasilkan sampah berpotensi merembes ke tanah dan mencemari air tanah. Kondisi ini berisiko menurunkan kualitas air sumur masyarakat sekitar serta mencemari aliran sungai, yang pada akhirnya mengganggu ekosistem dan sumber air bersih.

Selain itu, tumpukan sampah terbuka menimbulkan kesan kumuh, kotor, dan tidak terurus. Lingkungan yang tercemar menurunkan kualitas kehidupan masyarakat serta berdampak negatif terhadap citra sosial, ekonomi, maupun emosional warga sekitar.

4. Konflik dengan Masyarakat Sekitar

Kehadiran TPA tanpa manajemen pengelolaan yang baik acapkali memicu terjadinya gesekan sosial. Penolakan hingga aksi protes warga setempat bahkan tuntutan kompensasi kepada pemerintah sering kali muncul.

Warga yang tinggal di sekitar jalur truk pengangkut maupun dekat TPA merasa dirugikan lantaran harus menanggung dampak bau, polusi udara, potensi gangguan kesehatan, dan risiko pencemaran lingkungan.

Konflik ini menunjukkan bahwa permasalahan sampah bukan hanya aspek teknis, tetapi juga memerlukan pendekatan sosial, ekonomi, serta kesehatan lingkungan.

Meski sering dianggap sebagai masalah besar - bahkan dianggap "musibah" - sampah juga bisa menjadi "berkah" jika dikelola dengan baik. 

Untuk pengelolaan TPA dalam jangka pendek, salah satu metode sederhana yang masih bisa diterapkan adalah metode controlled landfill, yaitu dengan cara menutup timbunan sampah secara berkala minimal seminggu sekali. Dengan catatan, metode ini tetap harus dilengkapi lapisan kedap air serta sistem pengelolaan lindi agar tidak merusak lingkungan.

Dengan metode yang paling sederhana tersebut harapannya akan meminimalkan kekhawatiran masyarakat yang berlebihan terhadap semakin menumpuknya sampah di TPA, bahkan bisa menjadi "berkah" bagi lingkungan sekitar.

Alasan mengapa sampah di TPA bisa menjadi "berkah" setidaknya dapat dilihat dari beberapa sudut pandang berikut:

1. Potensi Ekonomi dari Daur Ulang dan Pemanfaatan Energi

Jika dikelola dengan baik, timbulan sampah di TPA sesungguhnya bisa menjadi penggerak ekonomi warga sekitar. Banyak contoh di mana TPA menjadi sumber penghasilan baru bagi masyarakat lokal.

Sampah organik dari limbah domestik seperti sisa makanan, daun, ranting, dan rumput mudah diolah menjadi kompos yang bermanfaat bagi sektor pertanian, penghijauan, dan dijual sebagai produk bernilai ekonomi. Dengan demikian, sampah dapat meningkatkan kesejahteraan warga.

Selain itu, dengan teknologi yang tepat, sampah organik dapat menghasilkan biogas, sementara residu sampah tertentu dapat diolah di Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Artinya, sampah tidak lagi dianggap sebagai beban, tetapi sebagai bahan baku energi alternatif.

Belum lagi, sampah anorganik seperti plastik, kertas, logam, dan kaca bisa dipilah lalu dijual kembali ke pengepul atau industri daur ulang. Konsep 3R (Reduce, Reuse, Recycle) dapat diterapkan, baik secara sederhana melalui pemilahan manual, maupun dengan teknologi modern agar lebih higienis dan efisien.

Tanpa alat modern pun, prinsip 3R tetap dapat dijalankan sesuai kemampuan masyarakat diantaranya melalui kolaborasi dengan pemulung, bank sampah, maupun unit daur ulang sederhana.

Namun demikian, idealnya, kebiasaan 3R dimulai dari rumah tangga, sekolah, hingga komunitas. Bila diterapkan secara konsisten, volume sampah yang masuk ke TPA akan jauh berkurang sekaligus memberi nilai tambah ekonomi. Bahkan di sekitar TPA bisa tumbuh industri kreatif yang mengubah barang bekas menjadi kerajinan, produk fesyen, atau furnitur bernilai tinggi.

Secara faktual, potensi ekonomi dari pengelolaan sampah sudah terbukti. Kabupaten Banyumas, misalnya, melalui Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) berhasil mengolah sampah organik dan anorganik menjadi aneka barang jadi yang bernilai ekonomi seperti kompos, paving block, bata, hingga biji plastik. Kegiatan ini melibatkan sekitar 1.500 tenaga kerja dari 50 KSM, menciptakan lapangan kerja lokal dan memberdayakan masyarakat.

Di tingkat global, Jepang menjadi salah satu contoh negara yang sukses dalam mengelola sampahnya. Budaya disiplin warganya dalam memilah sampah menjadikan tingkat daur ulang sangat tinggi. Hal ini membuktikan bahwa sampah bisa membawa manfaat besar bila didukung budaya, regulasi, dan teknologi.

2. Dampak Positif terhadap Lingkungan dan Sosial

Ketika sampah dipandang bernilai ekonomi bukan sekadar beban, masyarakat diharapkan semakin termotivasi untuk memilah dan mengelolanya dengan baik. Lingkungan pun menjadi lebih bersih, sehat, dan nyaman.

Lain itu, dengan adanya program pengelolaan sampah berbasis komunitas, seperti, bank sampah, kompos rumah tangga, atau limbah kerajinan, dapat memperkuat solidaritas sosial serta menumbuhkan rasa kebersamaan. 

Dalam jangka panjang, kesadaran ini berdampak positif pada generasi muda yang terbiasa berpikir berkelanjutan dan kreatif, sekaligus menjadikan pengelolaan sampah sebagai bagian dari pendidikan lingkungan.

Dengan demikian, masyarakat dapat melihat sampah bukan sekadar masalah, melainkan berkah yang bisa menjadi sumber ekonomi, energi, dan pemberdayaan sosial. Keberhasilan di sejumlah daerah dan negara menunjukkan bahwa paradigma "sampah bisa jadi berkah" dapat diterapkan secara luas, asalkan ada dukungan kebijakan pemerintah, infrastruktur yang memadai, dan partisipasi aktif masyarakat.

3. Praktik Buang Sampah Lintas Wilayah, Menguntungkan?

Praktik membuang sampah lintas wilayah, yakni dari daerah padat ke wilayah lain yang memiliki TPA lebih luas, sudah dilakukan di beberapa daerah. Misalnya, Jakarta yang menghasilkan ribuan ton sampah setiap hari mengirimkannya ke TPA Bantargebang, Bekasi.

Dari sisi positifnya, daerah penerima sampah biasanya mendapat kompensasi berupa dana, perbaikan infrastruktur, layanan kesehatan, dan metode pengelolaan sampah yang lebih modern. Kegiatan pengelolaan sampah skala besar juga membuka potensi lapangan kerja baru.

Namun, ada pula sisi negatifnya, seperti, kapasitas TPA bisa cepat penuh, bau dan polusi meningkat, serta potensi konflik sosial meningkat bila warga masyarakat merasa tidak mendapat manfaat langsung, sementara dampaknya menjadi tanggung jawab mereka setiap hari.

Belajar dari pengalaman tersebut, diperlukan jalan tengah untuk menghadapi situasi dilematis ini, diantaranya:

  • Pemda dituntut berkomitmen meningkatkan tata kelola sampah di TPA agar dapat memberikan manfaat ekonomi serta berdampak positif bagi kehidupan sosial masyarakat dan lingkungan.
  • Memastikan dana kompensasi yang diperoleh dari perjanjian kerja sama lintas wilayah dari daerah lain pendanaannya tepat sasaran, untuk meminimalkan beban sosial dan lingkungan.
  • TPA dijadikan pusat pengelolaan sampah terpadu, bukan sekadar tempat pembuangan sampah. Dalam hal ini pemda dan masyarakat harus bersinergi dalam pengelolaan sampah secara bersama-sama.
  • Penerapan prinsip 3R, pemanfaatan energi, serta pembangunan zona hijau di sekitar TPA untuk mengurangi dampak lingkungan.

Kesimpulannya, fenomena sampah menghadirkan tiga perspektif utama yakni dianggap musibah ketika menumpuk tanpa pengelolaan, menjadi berkah tatkala diolah dengan tepat sehingga memberi manfaat bagi lingkungan dan masyarakat, serta bisa berbuah cuan jika dikelola sebagai peluang ekonomi.

Rencana pembuangan sampah lintas wilayah dapat berhasil jika pengelolaan sampah di TPA mampu mengurangi risiko musibah, memperbesar peluang sampah jadi berkah, serta memastikan manfaat ekonomi (cuan) dirasakan nyata oleh masyarakat sekitar.

Dengan tata kelola yang tepat, sampah dapat berubah dari masalah menjadi harapan bagi lingkungan dan masyarakat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun