Mohon tunggu...
Adellia Rosa
Adellia Rosa Mohon Tunggu... -

Seperti keping mata uang, semua memiliki dua sisi. Baik atau buruk? Well, saya tidak peduli :)\r\n\r\nhttp://adelliarosa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Konspirasi Eden

4 Februari 2012   16:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:03 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku menggigil di bawah kulitku yang telanjang, menapaki rumput sehalus beledu berwarna hijua muda yang berkilauan ditimpa sinar matahari yang keemasan. Gemericik air yang mengalir menjadi satu-satunya harmoni yang terasa indah sekaligus asing. Aku mendengar kelepak sayap samar-samar, dan mendengar seseorang bernyanyi dengan begitu merdunya. Aku mendekati sumber suara yang asing sekaligus akrab di telingaku.

Makhluk itu sangat rupawan, bercahaya keemasan dengan wajah perpaduan antara feminin sekaligus maskulin. Ia tidak mengenakan penutup suatu apa, dan tidak memiliki kelamin. Sepasang sayap berkilauan di balik punggungnya. Kedua matanya bersinar keemasan terasa begitu hangat dan cair saat ia menatapku dengan takzim.

“Adam..”

Suaranya bagaikan genta angin, merdu. Di bahunya tersampir sebuah harpa keemasan yang berpendar-pendar. Ia mulai memainkan sebuah harmoni yang paling indah yang pernah kudengar. Kurasakan tubuhku bersimpuh di dekat kakinya yang tidak berupa sepasang kaki, melainkan sebentuk ular berwarna keemasan yang menyala. Aku melihat api berkobar di matanya saat ia menatapku. Garang, sekaligus penuh pengampunan. Ia terus memetik sebuah simfoni yang terasa begitu menggetarkan hati. Aku mulai menarik suara yang telah kulupakan di dalam leherku.

“Kau diutusNya untuk menemaniku?”

Suaraku parau, berat. Terasa berkarat. Dalam rentang waktu yang sangat lama, aku tidak pernah menggunakannya. Sejak kekasihku yang pertama, yang menentangNya, yang menolak superioritas meninggalkanku dalam luka yang menganga.

“Aku bukan berasal dari jenismu.”

Suaranya berdesis, penuh kebencian. Mata keemasannya kembali berapi-api. Aku teringat akan Lilith, inti sekutuku yang pertama. Kekasihku, yang dengan mata yang sama, yang berkobar-kobar penuh penolakan, yang meninggalkanku di lubang neraka ini sendirian. Mungkin Ia menyebut ini surga, tapi bagiku sama saja seperti neraka. Membakarku dengan kesepian dan kesedihan yang panjang dan hening.

**

“Apa yang membuat ia begitu berbeda? Mengapa ia harus berkuasa akan aku? Tidak. Kau menciptakan kami dari inti bumi yang sama!”

Suara itu melengking tinggi nyaris marah dan putus asa. Kebencian nyata berkilat-kilat dari kedua matanya. Aku hanya menunduk merasakan gelombang otoritas yang memaksa tubuhku bersujud di tanah. Sementara, aku melihat Lilith berdiri menjulang dengan kedua kakinya menantang Langit yang memberikan titah. Titah yang sangat jelas bergaung di antara gemerisik dahan-dahan palem dan sungai-sungai madu berwarna cokelat muda.

“Sujud kepada Adam.”

Lilith meraung murka, menatapku yang atas kuasaNya bisa kembali berdiri tegak di hadapannya. Tubuhku menolak merengkuhnya, suaraku membisu untuk memanggilnya. Otoritas itu begitu kuat mencengkeramku dari atas sampai bawah. Dari dalam sampai luar. Aku mematung. Menunggunya bersujud. Perintah yang terus menerus bergema di sekelilingku.

“Kau sungguh tidak adil. Aku menolak perintahMu.”

Suara menghilang dari leherku, saat aku melihatnya terbuyarkan menjadi serpih-serpih, dan kabut putih melayang-layang di sekelilingku. Udara menjadi berat, sarat dendam. Aku menatap tanah yang dulunya menjadi tempat kekasihku berpijak.

Aku tidak memintamu bersujud padaku..

**

Aku kembali terbangun dalam gigil getir yang sama. Makhluk berkaki ular keemasan dan tanpa kelamin itu menungguku di atas pohon anggur yang sulur-sulurnya jalin menjalin dengan rapat. Menghalangi sinar matahari yang terasa sejuk membelai kulit.

“Mimpi yang sama, Adam?”

Suaranya bergemerisik lirih saat aku berjalan mengitarinya. Setengah terperangah mengetahui makhluk inilah yang Ia takdirkan bersamaku setelah Ia merenggut kekasihku. Senyumnya mengambang, aku melihatnya dan mengenali sebuah lingkaran halo yang terpancar dari puncak kepalanya. Malaikat. Utusan.

“Tidak persis seperti itu.”

Suaranya kembali bergemerincing menjawan pertanyaan yang muncul di kepalaku. Perlahan, ia mulai melantunkan melodi dari harpanya yang bersinar keemasan, dan aku kembali bersimpuh di kaki ularnya yang menggeliat-geliat. Menemukan teman sekaligus penghiburan dari sebuah ratapan sakit hati yang hening.

**

Aku bermimpi mendengarNya berbicara. Mengenai mengganti apa yang Ia renggut dengan sesuatu yang bisa Ia beri.

Aku mengambil, Aku juga memberi.

Aku bisa mendnegar puji-pujian zikir dari seluruh jagad yang kudiami. Berulang-ulang menyanyikan pemujaan yang sama. Tuhan mengambil, Tuhan juga memberi. Aku menolak mengamini.

Aku merasakan hampa di dadaku. Di sebelah kiri. Diantara deret tulang rusukku. Aku melihat Sang Malaikat rupawan bermata keemasan tersenyum padaku dengan cara yang ganjil. Aku merasakan angin bertiup melewati tengkukku. Bukan desiran angin. Tapi hembusan napas. Napas seseorang. Aku terkesiap, merasakan seseorang berdiri di hadapanku, berjarak beberapa jengkal dari tubuhku. Seorang perempuan. Serupa Lilith, dengan wajah yang lebih damai dari rembulan pucat yang bersinar di malam-malam sepi. Lebih bercahaya dibanding sungai-sungai madu yang mengalir tanpa henti.

Tuhan mengambil, Ia juga memberi. Amin.

Aku merengkuhnya dalam lenganku, menemukan penghidupan dan harapan yang bersinar-sinar di dalamnya. Menemukan kembali surga yang benderang di dalam pelukannya.

**

Aku merasakan kepalaku berputar-putar. Tanah rumput yang sehalus beledu seperti kehilangan daya untuk menahanku tetap berpijak. Jemariku menggenggam erat jemari sosok yang hadir menemaniku belakangan. Hawa. Sesuatu menarikku dari bawah dengan sangat kuat, menghempaskanku ke tanah yang mulai bernanah. Aku merasakan amarah yang menggelegak mengguncangkan jagad yang kudiami. Terasa menetes-netes di setiap helai-helai daun yang bergoyang dan bergetar hebat. Sungai-sungai madu dan susu berubah semerah darah, anggur-anggur ranum menghitam murka, langit biru keemasan berganti hitam kelam dan badai bergulung-gulung di bawahnya.

Aku menggenggam jemari Hawa lebih erat, dan melalui sudut mataku, aku melihat Malaikat Berekor Ular itu tertawa licik, dengan senyuman menyala dan lidah-lidah api terang berkobar tiap ia mengedipkan mata.

Kau harus membayar semuanya, Adam.

Desisan Sang Malaikat begitu tajam, sarat kebencian. Sesosok wanita bertudung hitam terlihat berdansa bersamanya di tengah kobaran yang menggelegak di kolam yang seharusnya bermuara air bening menyejukkan. Kolam itu berubah memerah darah, ombak bergulung di atasnya.  Aku melihat mata bening Hawa dan menemukan penyesalan di dalamnya. Sebentuk apel yang berwarna hijau, mulai menguning di satu tangannya yang lain. Ia mendekapnya di dekat dada.

Buah terlarang telah kita petik.

Suara Hawa sarat kegetiran dan penyesalan. Aku merasakan citranya yang semakin mengabur seiring suasana yang berangsur-angsur kembali tenang. Sepasang makhluk yang kulihat berdansa di tengah kolam tampak tertawa dengan begitu kejamnya. Aku merasakan Hawa memudar, menghilang. Meninggalkan geletar kabut perak yang berpusar-pusar. Malaikat keemasan yang kukenal baik itu nampak begitu puas menjulur-julurkankan lidah bercabangnya, seolah dahaga dendamnya terpuaskan. Wanita bertudung hitam itu memancarkan kepuasan yang sama di balik mata hitamnya.

Kau terusir, Adam. Sama sepertiku. Sama seperti Lucifer.

Aku memudar, suara Lilith bergema di ingatanku. Dalam bayang-bayang pohon maple tua, dan sengatan garang matahari, aku menemukan tubuhku telanjang, menggigil, dan sendirian. Kedua tangananku terulur, mencari-cari Hawa yang entah dimana. Ini bukan jagad yang dulu kudiami. Tanahnya lebih keras dan tandus. Tidak ada gemericik air yang menyejukkan telinga. Tidak ada anggur-anggur ranu yang siap berbuah kapan saja. Udara terasa begitu panas dan kering. Asing.

Sebuah citra menyala-nyala di dalam kepalaku. Sesosok wanita bertudung hitam yang menyembah sosok malaikat keemasan bertubuh ular. Keduanya menyeringai keji ke arahku. Malaikat itu menatapku dengan ganjil, tersenyum mengejek.

Aku bersumpah tidak akan bersujud ke hadapanmu. Aku berasal dari api, dan kau hanya dari seonggok bumi. Aku terusir dan mendapat murka. Namun aku telah bersumpah, kau akan mendapat murka yang sama. Selamat datang di dunia!


Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun