Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) kembali menjadi sorotan di tengah masyarakat. Rencana perubahan terhadap UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI ini memunculkan berbagai pendapat yang saling bertentangan, mencerminkan kekhawatiran sekaligus harapan terhadap arah reformasi di sektor pertahanan Indonesia. Di satu pihak, revisi ini dipandang perlu untuk menyesuaikan peran TNI dengan dinamika geopolitik serta tantangan keamanan abad ke-21. Namun di pihak lain, muncul kekhawatiran bahwa perubahan tersebut justru dapat membuka peluang bagi kembalinya militerisme dan melemahkan prinsip supremasi sipil dalam sistem demokrasi.
Salah satu aspek yang menimbulkan perdebatan dalam draf revisi UU TNI adalah perluasan tugas TNI ke sektor non-militer, seperti keterlibatan dalam penanganan terorisme, bencana alam, serta ancaman siber dan disinformasi. Meskipun tujuan dari perluasan peran tersebut terlihat positif, hal ini berpotensi menempatkan TNI terlalu dalam ke wilayah sipil, yang seharusnya berada di bawah kewenangan pemerintah sipil dan lembaga non-militer sesuai dengan konstitusi. Tanpa adanya batasan yang tegas, TNI berisiko menjadi alat kekuasaan yang terlalu dominan di luar tugas utamanya dalam bidang pertahanan negara.
Revisi UU TNI juga mencantumkan usulan penambahan jenis jabatan sipil yang dapat diisi oleh perwira aktif TNI, termasuk di kementerian, lembaga negara non-kementerian, hingga badan usaha milik negara (BUMN). Ketentuan ini mengingatkan pada era Orde Baru, ketika dwifungsi ABRI menjadikan militer sebagai kekuatan dominan yang tidak hanya berperan dalam pertahanan, tetapi juga turut mengendalikan urusan politik dan ekonomi. Reformasi tahun 1998 telah menghapuskan konsep dwifungsi tersebut untuk mendorong profesionalisme militer dan memperkuat sistem demokrasi. Jika revisi UU TNI saat ini justru membangkitkan kembali semangat dwifungsi dalam bentuk yang berbeda, maka hal itu menunjukkan bahwa Indonesia tengah melangkah mundur dalam perjalanan sejarahnya. Bahkan, imparsial juga menyoroti bahwa perubahan pada Pasal 47 dalam revisi UU TNI berpotensi mengganggu sistem rekrutmen dan jalur karier Aparatur Sipil Negara (ASN), serta dapat mendorong tumbuhnya budaya militerisme di institusi non-militer.
Penting untuk dipahami bahwa TNI merupakan alat negara, bukan instrumen kekuasaan. Profesionalisme militer menuntut sikap netral secara politik, fokus pada tugas utama menjaga kedaulatan negara dari ancaman luar, serta pembatasan peran agar tidak bertabrakan dengan fungsi kepolisian atau lembaga sipil lainnya. Jika cakupan tugas TNI diperluas secara berlebihan, hal tersebut bukan hanya akan mengaburkan fokus utama institusi ini, tetapi juga berisiko melemahkan peran lembaga-lembaga sipil yang seharusnya diperkuat.
Meski begitu, penolakan terhadap revisi tidak dapat diartikan sebagai penolakan terhadap perubahan. Undang-Undang TNI yang telah berusia dua dekade memang perlu disesuaikan dengan tantangan zaman, seperti perkembangan teknologi militer, munculnya perang hibrida, serta peran dalam misi perdamaian internasional. Revisi sebaiknya diarahkan untuk memperkuat transparansi anggaran, akuntabilitas dalam pelaksanaan operasi militer, dan peningkatan kesejahteraan prajurit.Â
Pemerintah dan DPR memegang peran penting dalam memastikan bahwa revisi Undang-Undang TNI tidak membuka peluang bagi kembalinya dominasi militer dalam sistem ketatanegaraan. Untuk itu, keterlibatan publik, pandangan dari kalangan akademisi, serta dialog dengan masyarakat sipil menjadi sangat penting agar proses revisi tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga memiliki legitimasi moral dan demokratis.
Sebagai negara demokrasi yang sedang berkembang, Indonesia membutuhkan Tentara Nasional Indonesia yang kuat, profesional, dan patuh pada prinsip supremasi sipil. Revisi terhadap UU TNI seharusnya dimaknai sebagai langkah memperkuat reformasi militer, bukan justru menjadi celah bagi kekuasaan yang berlebihan. Jangan sampai, atas nama keamanan, kebebasan dan nilai-nilai demokrasi yang telah diperjuangkan dengan penuh pengorbanan menjadi taruhannya.
REFERENSI:
I. P., Auliya, H. H., & Supriyono, S. (2025). Revisi UU TNI: Implikasi terhadap Demokrasi dan Supremasi Sipil. Jurnal Pendidikan Tambusai, 9(2), 13306–13310.Â
Kamil, M. A. (2022). Legalitas Anggota TNI Aktif Dalam Rangkap Jabatan Sipil (Studi Terhadap Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia) (Bachelor's thesis, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).