Mohon tunggu...
Adeline Ilolita
Adeline Ilolita Mohon Tunggu... HCM Practicioner

“Human Capital | Self-Growth | Asesor Psikologi | Psikologi Industri dan Organisasi | Psikologi Perkembangan Anak | Menulis untuk belajar, berbagi insight dan inspirasi".

Selanjutnya

Tutup

Financial

Efek Psikologis : Mengapa Publik Merasa Aman Bersama Purbaya

19 September 2025   05:15 Diperbarui: 19 September 2025   20:56 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa dalam konferensi pers dengan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto (kiri) di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (15/9/2025). 

Dalam beberapa minggu terakhir, publik ramai membicarakan sosok Menteri Keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa (60 Tahun) Nama ini sudah lama dikenal dalam lingkaran ekonomi nasional, terutama dari kiprahnya sebagai ekonom senior dan pejabat di sejumlah lembaga strategis. Namun kali ini, sorotan publik tidak hanya tertuju pada posisinya, melainkan pada bagaimana Ia membawa gaya komunikasi dan eksekusi kebijakan yang berbeda.

Purbaya muncul dengan bahasa sederhana, membumi, dan penuh ketegasan. Ia berusaha mengurai kerumitan ekonomi dalam narasi yang mudah dicerna masyarakat. Salah satu kebijakan yang langsung menarik perhatian adalah suntikan dana Rp200 triliun ke sektor perbankan, langkah yang dimaksudkan untuk menjaga likuiditas dan menghindari potensi kepanikan di tengah situasi global yang tidak menentu.

Menariknya, efek dari kebijakan ini tidak berhenti pada ranah teknis fiskal. Di balik angka besar tersebut, ada dampak psikologis yang dirasakan publik. Rasa aman, kepercayaan, bahkan optimisme mulai tumbuh, seolah negara memberi jaminan bahwa stabilitas tetap dijaga. Pertanyaannya kemudian, mengapa kebijakan ekonomi bisa begitu kuat membentuk persepsi dan rasa aman masyarakat?

Kebijakan Ekonomi dan Dampak Psikologis

Suntikan dana besar ke bank memang punya fungsi teknis, yakni memastikan likuiditas tetap terjaga. Tetapi bagi masyarakat awam, langkah itu dipersepsi sebagai tanda bahwa tabungan mereka aman dan bank tidak akan kolaps. Inilah yang dalam psikologi ekonomi disebut sebagai "sense of security", perasaan aman yang menjadi fondasi kepercayaan publik.

Selain itu, Purbaya juga menekankan pentingnya menjaga cadangan devisa agar rupiah tetap stabil. Stabilitas nilai tukar bukan hanya soal kurs, melainkan simbol kestabilan nasional. Ketika rupiah tidak terlalu bergejolak, masyarakat merasa harga kebutuhan pokok lebih terkendali, sementara pelaku usaha dapat merencanakan ekspansi dengan lebih percaya diri.

Langkah lainnya adalah menjaga defisit APBN tetap rendah sembari mengarahkan belanja pada sektor produktif. Narasi bahwa uang negara dikelola hati-hati tetapi tetap fokus pada pembangunan nyata membuat publik merasa dana pajak mereka tidak terbuang percuma. Insentif pajak yang diberikan ke industri strategis juga memperkuat rasa optimis: ada harapan bahwa lapangan kerja akan tetap terbuka dan masa depan industri nasional lebih terjaga.

Program penjaminan kredit untuk UMKM menambah lapisan psikologis yang penting. Dengan pemerintah ikut menanggung sebagian risiko, para pelaku usaha kecil merasa tidak dibiarkan berjalan sendirian. Rasa dilindungi ini membuat keberanian mereka untuk mengambil keputusan usaha meningkat.

Semua langkah ini menunjukkan bahwa kebijakan ekonomi tidak hanya berfungsi pada level makro, tetapi juga bekerja sebagai penopang psikologis masyarakat. Publik tidak sekadar melihat angka, melainkan merasakan bahwa ada tangan negara yang hadir memberi rasa aman.

Komunikasi Membumi dan Gaya Kepemimpinan

Keunggulan lain dari Purbaya adalah gaya komunikasinya. Ia menghindari jargon teknis yang membingungkan, memilih kata-kata sederhana yang dapat dipahami masyarakat luas. Dari sudut pandang psikologi komunikasi, hal ini menciptakan rasa inklusi yakni publik merasa dilibatkan, bukan ditinggalkan.

Dalam literatur kepemimpinan, pendekatan ini dapat disebut sebagai relational leadership gaya yang menekankan hubungan dan kejelasan dengan audiens. Model kepemimpinan semacam ini cenderung lebih efektif dalam masa krisis, ketika masyarakat membutuhkan figur yang bisa menenangkan sekaligus memberikan arahan jelas.

Selain itu, Purbaya juga terampil dalam mengelola ekspektasi. Ia menyampaikan optimisme, tetapi tidak menjanjikan hal-hal yang terlalu bombastis. Nada komunikasinya seimbang yakni realistis namun tetap memberi harapan.

Keputusan Cepat dan Eksekusi Nyata

Salah satu faktor yang memperkuat citra Purbaya adalah konsistensi antara ucapan dan tindakan. Kebijakan suntikan dana Rp200 triliun, misalnya, tidak hanya berhenti pada pengumuman, melainkan langsung dieksekusi. Perbankan menerima kepastian, dan masyarakat melihat hasil yang konkret.

Dari perspektif psikologis, tindakan yang cepat dan nyata memperkuat rasa percaya. Publik lebih yakin pada pemimpin yang tidak hanya pandai berbicara, tetapi juga sigap bertindak. Kecepatan dalam eksekusi memberi sinyal bahwa pemerintah serius melindungi stabilitas.

Tantangan yang Menghadang

Meski awalnya mendapat sambutan positif, jalan Purbaya tidak sepenuhnya mulus. Kritik mulai berdatangan, baik dari kalangan ekonom, parlemen, maupun pengamat kebijakan publik. Ada yang mempertanyakan dasar hukum dari kebijakan pemindahan dana besar ke bank, menilai langkah tersebut bisa dianggap sebagai perubahan anggaran terselubung. Kritik semacam ini mengingatkan bahwa setiap kebijakan, sekuat apa pun niatnya, harus berdiri di atas legitimasi hukum yang jelas.

Parlemen juga menyoroti target pertumbuhan ekonomi yang dinilai terlalu optimistis. Dengan catatan historis ekonomi Indonesia, sebagian anggota DPR merasa wajar mempertanyakan bagaimana target tinggi itu bisa dicapai secara realistis. Di sisi lain, tantangan birokrasi juga muncul: tidak semua kementerian dan lembaga siap menyerap anggaran dengan cepat, apalagi jika baru mengalami restrukturisasi.

Di luar tantangan teknis, ada pula dinamika politik dan institusional yang harus dihadapi. Dalam birokrasi besar, selalu ada pihak yang terbiasa dengan pola lama. Ketika menteri baru menuntut percepatan, transparansi, dan efisiensi, resistensi bisa muncul, meski sering kali tidak dalam bentuk perlawanan terbuka. 

Dari dunia usaha dan perbankan sendiri, tantangan juga tidak kecil. Bank yang menerima dana besar mungkin lebih memilih berhati-hati dalam menyalurkan kredit, karena pertimbangan bisnis. Jika dana tidak cepat mengalir ke sektor riil, efek ke masyarakat bisa lebih lambat terasa. Dalam kondisi ini, publik bisa mulai mempertanyakan efektivitas kebijakan.

Semua tantangan ini memperlihatkan bahwa perjalanan Purbaya bukan hanya soal membuat kebijakan, tetapi juga soal bagaimana menjaga keseimbangan antara ambisi, hukum, birokrasi, dan psikologi publik.

Menjaga Konsistensi

Efek psikologis kebijakan ekonomi bekerja layaknya gelombang. Pada awalnya bisa menenangkan, tetapi tanpa konsistensi, rasa aman itu bisa berubah menjadi kekecewaan. Purbaya memahami bahwa publik tidak hanya butuh angka, tetapi juga butuh rasa percaya yang berkelanjutan.

Ke depan, tantangan terbesarnya adalah menjaga konsistensi komunikasi dan eksekusi. Transparansi perlu terus dipelihara agar kepercayaan tidak pudar. Narasi optimis harus terus diimbangi dengan langkah nyata di lapangan. Jika keseimbangan ini terjaga, bukan tidak mungkin ia akan dikenang sebagai salah satu Menteri Keuangan paling berpengaruh sekaligus paling disukai dalam sejarah Indonesia.

📚 Daftar Pustaka 

  1. Akerlof, George A., & Shiller, Robert J. (2009). Animal Spirits: How Human Psychology Drives the Economy, and Why It Matters for Global Capitalism. Princeton University Press.

  2. Kahneman, Daniel. (2011). Thinking, Fast and Slow. Farrar, Straus and Giroux.

  3. Thaler, Richard H., & Sunstein, Cass R. (2009). Nudge: Improving Decisions About Health, Wealth, and Happiness. Penguin Books.

  4. Shiller, Robert J. (2019). Narrative Economics: How Stories Go Viral and Drive Major Economic Events. Princeton University Press.

  5. Northouse, Peter G. (2021). Leadership: Theory and Practice (9th ed.). SAGE Publications.

  6. Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2025). Laporan Ekonomi Makro dan APBN 2025. Jakarta: Kemenkeu RI.

  7. Bursa Efek Indonesia. (2025). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Monthly Report. Jakarta: BEI.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun