Mohon tunggu...
Ade Irawan
Ade Irawan Mohon Tunggu... Konsultan / Pengamat Kebijakan Publik / Kaum Satirisme

Pengamat jalanan yang tersakiti

Selanjutnya

Tutup

Politik

"Brutalisme Politik ala KDM: Ketika Jawa Barat Jadi Chanel Pribadi"

5 Mei 2025   17:33 Diperbarui: 5 Mei 2025   17:33 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ada gaya kepemimpinan yang demokratis. Ada pula yang teknokratis. Tapi di Jawa Barat hari ini, kita disuguhi genre baru yang patut masuk dalam literatur politik mutakhir: gaya kepemimpinan brutalistis personalistik digitalistik---alias KDM Style.

Fraksi PKB di DPRD Jawa Barat baru-baru ini membuka suara. Mereka menilai Kang Dedi Mulyadi (KDM) mengelola pemerintahan bukan sebagai pemimpin konstitusional, tapi lebih mirip seorang admin tunggal grup WhatsApp keluarga besar Sunda---di mana hanya satu orang yang boleh bicara, dan sisanya hanya boleh mengirim stiker.

Gubernur KDM, dengan segala daya kharismatik dan kearifan lokal yang difilter dengan saturasi tinggi, tampaknya begitu percaya pada kehebatan intuisi pribadinya. Keputusan anggaran, program strategis, hingga penunjukan pejabat dilakukan seperti sedang memilih thumbnail untuk vlog YouTube: cepat, sepihak, dan pastinya "harus eye-catching."

DPRD? Ah, hanya semacam penonton yang baik, selama mereka tidak lupa subscribe dan like. Dinas-dinas? Mungkin sekadar tim editor di balik layar yang tugasnya memastikan narasi tetap utuh dan tidak merusak personal branding. Dan para sesepuh? Sayangnya, di algoritma KDM, hikmah dan kebijaksanaan para sepuh tampaknya tidak cukup SEO-friendly.

Yang paling menarik dari kritik PKB adalah kata "brutal"---dan itu bukan tanpa alasan. KDM memang tidak berdarah, tapi ia mematikan proses deliberatif. Bukan dengan kekerasan, tapi dengan kelincahan algoritma. Ketika masyarakat sedang membahas urgensi partisipasi publik, Gubernur kita justru sedang menulis monolog kebijakan langsung ke kamera.

Tidak ada musyawarah. Tidak ada permusyawaratan. Hanya ada "Kang Dedi berbicara". Lalu like berserakan, komentar penuh puja-puji, dan kebenaran pun seolah sudah bulat.

Apakah ini era baru demokrasi digital, atau sebenarnya kita sedang menyaksikan regresi peradaban di balik ring light?

Kepemimpinan tidak cukup hanya menarik perhatian. Jawa Barat bukan panggung yang bisa didekorasi dengan properti konten. Dan rakyat bukan subscriber yang puas hanya dengan konten haru biru dan aksi dadakan di pinggir jalan.

Jika ini terus berlanjut, jangan heran bila satu hari nanti RAPBD dibahas dalam kolom komentar TikTok, dan pelantikan kepala dinas dilakukan lewat live Instagram. Karena di era KDM, narasi adalah kebijakan, dan popularitas adalah legitimasi.

Dan seperti kata Fraksi PKB: "Brutal, tapi estetik." Sayangnya, dalam pemerintahan, estetika tidak cukup untuk menggantikan etika.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun