Oleh: Ade Imam Julipar
06 Februari 2020
Makan siang hari ini saya menyantap nasi padang bungkus. Karena beberapa teman kantor memesan nasi padang ke Office Boy yang biasa membeli makan siang, saya pun ikut-ikutan memesan. Pertimbangan saya, supaya Office Boy-nya hanya membeli pada satu tempat.
Kalau saya memesan Ayam Karawaci atau ayam geprek Pak Gembus, nanti dia harus membeli dibeberapa tempat. Sedangkan waktu sudah jam 11.30. Takutnya tidak keburu.
Saya ambil piring untuk alas bungkusnya. Tak lupa mengambil segelas air ukuran besar di dispenser. Saya campur air panas dengan air dingin. Biar hangat.
Dengan lahap, nasi padang bungkus itu sudah beralih ke kantong perut saya. Padahal lumayan banyak juga nasinya. Ya, nasi padang yang dibungkus akan lebih banyak nasinya dibandingkan jika kita makan di tempatnya.
Konon secara historis, dulu ketika Indonesia mengalami  masa-masa sulit dilanda krisis ekonomi, pemilik rumah makan padang ini terpanggil rasa kemanusiaannya. Mereka menambahkan nasi lebih banyak bagi para pembeli yang dibungkus. Dengan begitu, pembeli itu bisa berbagi dengan orang serumah.
Tradisi heroisme di Sumatera Barat (Baca: Padang) tidak melulu berkutat pada nama-nama: Tan Malaka, Agus Salim, Rasuna Said, Hamka, Hatta, Imam Bonjol, dan  Yamin. Tetapi heroisme menjulur ke akar-akar rumput masyarakat : Para pedagang nasi padang.Â
Bahkan kali pertama orang menyebut rumah makan padang dengan sebutan: Rumah Makan Ampera.
Ampera disini akronim dari: Amanat Penderitaan Rakyat. Frasa yang pernah diungkapkan Oleh Bung Karno pada salah satu pidatonya.
Bahkan restannya sampai sekarang masih banyak kita temui rumah makan padang dengan nama: Ampera.