Riuh pilkada di berbagai daerah sudah bergemuruh. Ini konsekuensi dari pilkada serentak. Beberapa di antara kita pun bergegas untuk bermain di dalamnya.
Entah itu langsung mencalonkan diri sebagai kepala daerah, entah itu menjadi tim sukses, atau entah itu hanya sekadar menjadi tim sorak saja.
Terlepas dari itu semua mereka terlibat di dalamnya. Ingin berpartisipasi dalam perhelatan demokrasi yang digelar dari biaya negara ini. Yang namanya dari biaya negara berarti biaya itu berasal dari rakyat. Dan itu mengandung pengertian : biaya dari kita. Karena kita adalah rakyat.
Ada anggapan di masyarakat kita bahwa untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau jabatan politis lainnya, orang harus punya uang. Harus bermodal. Dan anggapan ini sudah menjadi keyakinan umum. Padahal hal ini jelas-jelas sesuatu yang salah.
Sistem rekrutmen yang ada sekarang berbiaya tinggi. High cost politic. Orang yang akan mencalonkan diri, baik sebagai anggota dewan maupun kepala daerah harus mempunyai modal. Ini sesuatu yang tidak aneh sebetulnya. Karena sistem politik adalah turunan dari sistem ekonomi yang ada. Sistem ekonomi yang ada sekarang ini adalah sistem ekonomi kapitalistik. Modal di atas segalanya. Imbasnya tentu saja ke pencalonan.
Yang terjadi kemudian adalah mereka berlomba-lomba mengumpulkan biaya politik tersebut. Darimana pun sumbernya mereka sudah tidak peduli lagi. Duit setan yang dimakan iblis. Ataupun duit iblis yang dimakan setan.
Konon menurut sas sus ada beberapa partai yang meminta mahar jika ingin direstui pencalonannya oleh partai tersebut. Jumlahnya pun bervariasi. Entah sas sus ini benar atau tidak. Hanya tukang bajay dan Tuhan yang tahu. Hehehe.
Kemudian hari H pun tiba. Orang berduyun-duyun datang ke Tempat Pemungutan Suara untuk menyalurkan aspirasinya. Walau kenyataannya aspirasi itu tak pernah tersalur. Hanya slogan semata. Paling tidak, hal ini untuk meyakinkan terhadap orang luar, bahwa ada demokrasi disini.
Dan yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah itu akhirnya menang. Walaupun dengan selisih hanya beberapa ratus suara dari lawannya. Atau mungkin hanya selisih beberapa puluh suara. Yang pasti, di atas kertas mereka menang.
Maka drama pun dimulai. Setelah pelantikan dan menjabat, dibenak mereka langsung mencari cara untuk mengembalikan apa yang telah mereka keluarkan ketika mencalonkan diri.
Ya, mereka tak mau rugi. Mereka memegang teguh prinsip ekonomi. Bukankah hal ini pernah diajarkan oleh guru ekonomi kita sewaktu di bangku SMP. Bahwa prinsip ekonomi adalah memperoleh hasil yang sebesar-besarnya dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya.