Cerpen yang dimuat di Koran Kompas (02/05) ini ditulis oleh T. Agus Khaidir, sastrawan kelahiran Bima, NTB. Berlatar kehidupan orang Melayu desa dengan kearifan lokal yang masih lestari, cerpen ini bercerita tentang kasih sayang, kesepian, dan perjuangan.
Bubur pedas, makanan khas Medan menjadi alat utama yang menarasikan dinamika kearifan orang Malayu, termasuk perempuan dalam relasinya dengan keluarga, kesepian, dan perjuangan.
Meski bukan tokoh utama dalam cerpen ini, Mak Len, menjadi penampil dari fragmen relasi perempuan dengan dinamika kehidupannya. Pemilik resep turun temurun bubur pedas Masjid Raya itu mewakili semangat perempuan Melayu desa dalam memaknai kesetiaan.
"Eh, biar tahu kelen, ya. Mungkin awak bisa bahagia, tapi kenangan sama mendiang pasti tak dapat pupus begitu saja. Sesekali pasti datang juga rindu itu. Cobalah sekarang kalian jawab, heh, rumah tangga macam apa yang menyimpan rindu lain di dalamnya? Jadi, tidaklah, tak mau awak menambah-nambah dosa. Lebih baik begini. Bisa awak ke masjid, ke majelis taklim, banyak-banyak mengaji."
Kalimat itu diucapkan oleh Mak Len, ketika ditanya mengapa dia tak menikah saja lagi, setelah Wak Haji Zainuddin--suaminya tercinta--meninggal dunia.
Perempuan yang keras hati itu memang berwatak tegas, bahkan pada kesepian--sesuatu yang mustahil diacuhkan orang, yang menyeramkan sekaligus mencekam. Namun bagi Mak Len, sepi hanyalah ecek-ecek belaka:
"Bah, salahlah kalau kelen sangka itu soal besar. Tahu kelen, untuk orang tua macam awak ini, kesepian cuma ecek-ecek. Kecuali awak dilarang berladang, atau kelen menutup pintu waktu awak datang bertandang. Itu baru masalah."
Aku kemudian bertanya kepada diriku sendiri, mengapa seorang perempuan bisa seenteng itu memandang kesepian? Apakah cintanya pada mendiang suami demikian hebat? Lho, Jika iya, bukannya itu justru menjadikan kesepian semakin berat?
Pertanyaan-pertanyaan itu kemudian membongkar memoriku, mengambil beberapa potongan wajah dalam kotak ingatan: perempuan-perempuan yang kukenal, yang memilih menjanda hingga mati setelah suaminya pergi ke Ilahi Robbi.
Beberapa di antara mereka tak mau menikah lagi, dan memilih untuk membesarkan anak-anak yatim itu seorang diri.
Apakah memang seperti itu keteguhan perempuan mengunyah kesepian? Mengapa mereka tidak seperti kami para lelaki, sebulan-dua bulan ditinggal istri, tak tahan ingin kawin lagi?