Pipi Septi basah oleh genangan air mata. Sejenak ia usap tangis dengan telapak tangannya yang putih nan halus.Â
Dalam larutan duka lara menghujam dada, ia menerima sebuah guratan taqdir pilu atas dirinya. Sebuah janji manis, terpaksa harus dilanggar oleh seorang laki-laki yang sangat ia cintai.
Septi beranjak dari tempat duduk, ia mengambil sebuah album foto. Ia tatap dalam-dalam setiap foto yang singgah di pelupuk matanya, setelah itu hujan air mata kembali membasahi pipinya. Taqdir telah berlalu, sebuah kenangan akan hilang begitu cepat tanpa harus berpamitan.
Dua Minggu Lalu
Septi melipat pakaian milik Deva yang esok hari akan pergi ke Medan karena ada beberapa urusan dengan mitra perusahaannya. Tangan septi begitu cekatan melipat, alhasil beberapa pakaian telah tertata rapi di tas suaminya.
"Kamu jangan lama-lama ya mas di Medan?"
"Iya sayang, begitu selesai aku langsung pulang kok."
Deva tersenyum memandang istrinya, sembari jari-jemari yang lincah menekan keyboard laptop di atas meja kerja. Sebelum terbang ke Medan, ia harus membuat beberapa catatan dan laporan mengenai ketercapaian target produksi perusahaan di bulan ini. Semua harus siap, tidak boleh ada yang terlupakan sedikit pun karena semua menyangkut nama baik perusahaan, tempat ia bekerja mencari nafkah.
Setengah jam berlalu, semua catatan dan laporan telah selesai. Deva memasukkan laptopnya ke sebuah tas, lalu menmeriksa semua perlengkapan pribadi, mulai dari pakaian sampai dokumen-dokumen penting lain yang harus ia bawa selama perjalanan.
"Sudah lengkap semua mas?
Septi mencoba memastikan kembali barang-barang milik suaminya. Barangkali masih ada yang kurang, ia akan mencoba mempersiapkannya.