Mohon tunggu...
addin negara
addin negara Mohon Tunggu... swasta -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Senyum di Hari Pertama Sekolah

31 Juli 2016   15:36 Diperbarui: 31 Juli 2016   15:45 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Apa pun bila kata pertama dilekatkan pada sesuatu, pasti terasa berbeda. Anak pertama misalnya, atau gaji pertama, pacar pertama, wawancara pertama, mobil pertama, rumah pertama, sampai mantan pertama. Pertama menjadikan kata setelahnya terasa spesial. Kita pun cenderung berhati-hati dan mempersiapkan sebaik-baiknya untuk si pertama ini. Kita ingin yang terbaik yang kita bisa. Apa pun hasilnya nanti, ini akan jadi semacam acuan atau tolak ukur di waktu selanjutnya.

Mengingat hari pertama sekolah, belasan tahun silam, saya tersenyum-senyum sendiri. Ada rasa deg-degan, takut-takut tapi… penasaran, juga malu. Selebihnya adalah rasa grogi karena memang saya ini anak yang tidak cepat beradaptasi. Kini, saya alami lagi si hari pertama sekolah saat mengantar putri pertama saya ke sekolah barunya. Saya bertanya-tanya, Apa ya yang dirasakan Kakak saat itu?

Sehari sebelum hari H, saya sudah menyiapkan perlengkapan sekolahnya, bahkan seragam sudah siap sejak tiga minggu lalu. Begitu juga sepatunya. Saya mengharuskan Kakak tidur lebih awal supaya tidak kesiangan. Bermainnya pun saya batasi supaya Kakak tidak capek.

Wah-wah, yang mau sekolah kan Kakak, emaknya ruwet sendiri. Sementara si Kakak kalem-kalem wae.

Pagi menjelang berangkat, saya hampir-hampir tidak masuk kerja. Intinya saya siap menemani hari pertama sekolah si Kakak. Ibarat samurai, saya sudah siap perang dengan pedang tajam mengilat di tangan (lebay total!).

Tiba di sekolah, saya melihat barisan guru berjajar menyambut baik siswa baru maupun kakak kelas. Terdengar pula lagu yang saya tak tahu apa judulnya, liriknya memperdengarkan semangat untuk bersekolah. Tiba-tiba saya merasa tenang.

Sampai di kelas, guru wali kelas menyambut. Saya bertanya, apakah saya mesti mendampingi Kakak? Ibu guru berwajah ramah itu menyahut bahwa saya tak perlu mendampingi kalau Kakak berani. Saya mendekati Kakak berkata bahwa saya akan ke kantor. “Nggak papa ya Mamah tinggal?” tanya saya.

“Nggak papa,” kata Kakak.

Saya pamit dan meninggalkan sekolah. Masih banyak orang tua murid di sekolah, tapi saya tetap melaju ke kantor. Saya percaya pada guru. Saya percaya Kakak akan baik-baik saja. Saya percaya bahwa hari ini akan manis, semanis senyum Kakak pagi tadi.

Pulangnya, dan juga hari berikutnya, ada kalimat ini dari Kakak. “Aku suka kok di SD.”

Syukurlah, saya senang hari pertama Kakak di sekolah terlewati dengan ceria. Semoga hari-hari selanjutnya pun begitu. Amin.

Namun, hari pertama sekolah akan tetap lekat dalam ingatan. Pertama menjadikan kata setelahnya terasa spesial kan?! Nah, itulah. Jika dulu saya yang menghadapi hari pertama sebagai murid, sekarang saya hadapi hari itu sebagai orang tua.

Tentu saja saya tak pernah tahu apa yang sebenarnya dirasakan Kakak. Saya hanya bisa menduga dari senyum dan keceriannya sepulang sekolah. Saya lega karena Kakak menyukainya. Setidaknya, itu yang saya lihat. Selanjutnya, saya pikir tak perlu memusingkannya. Fokus saja pada masa-masa sekolah anak supaya kesan pertama yang sudah menyenangkan itu tetap bertahan.

Ada hal-hal yang saya catat dalam hati:

Tergantung pikiran

Akan jadi apa dan seperti apa hari bersejarah itu? Apakah panik? Ya, saya panik juga. Kepanikan kita bisa jadi menjelma ke sikap. Sayangnya, itu bisa menular ke anak. Kasihan dong. Daripada panik, pikirkan saja hal-hal menyenangkan. Misal: anak akan mendapat kawan baru, guru baru, lagu baru, dan aktivitas baru, atau menu baru saat makan siang :D Rasa deg-degan yang ada di hati sebaiknya ditekan dalam-dalam, keluarkan jadi senyuman, meskipun palsu.

Persiapan yang baik

Berkutat dengan satu toddler dan satu baby bukan hal mudah, ditambah dua-duanya aktif semua. Si Adek bahkan senang begadang dan bermain. Untuk hari spesial Kakak, setelah atribut perang (seragam sampai menu sarapan) lengkap, saya pasrahkan si Adek ke Ayah (hahahah....) maksudnya, ayah dan bunda juga perlu kerja sama, dong! Ayah juga mesti mendukung hari pertama sekolah Kakak.

Percaya pada anak

Hari ini harus jadi hari yang berkesan. Kesan pertama memang menentukan. Kakak anaknya agak moody. Jadi menjaga mood-nya supaya tetap semangat sangat penting. Satu lagi, rasa penasaran. Kayak apa sekolah baruku? Teman-temanku? Guruku? Menyiapkan hal yang mengasyikkan seperti bekal sepesial ke sekolah juga membuat Kakak jadi tak sabar untuk ke sekoah.

Percaya pada guru

Guru memang dilatih untuk menghadapi siswa dari yang kalem sampai yang ceriwis, yang bandel sampai yang penurut. Mereka malah lebih terampil ketimbang saya, orang tuanya. Saya lepas Kakak di kelas. Bersamaan dengan itu, saya lepas pula kekhawatiran. Ada Bu Guru yang menemani. Ini lebih menenangkan ketimbang mengharuskan diri menjadi patung penjaga di luar kelas. Guru juga akan lebih senang ketika para orang tua percaya pada kemampuan mereka mengasuh anak.

Nah, sepertinya itu saja catatan saya. Gimana para mama yang lain?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun