Mohon tunggu...
Adam Perdana
Adam Perdana Mohon Tunggu... lainnya -

Saya menulis, maka saya Eksis. www.facebook.com/AdamPerdana007

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cerpen] Lelaki yang Benci Penjual Koran

1 Agustus 2016   17:22 Diperbarui: 1 Agustus 2016   18:11 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar dari http://www.sternlawnj.com

"Aku pergi dulu Bu"
 "Ya, hati-hati ya"

Dengan hati yang terasa ringan dibanding kemarin, lelaki itu berangkat dengan motornya. Perbincangan dengan sang ibu seakan menjadi restu baginya untuk mencari pekerjaan baru. Doa dan restu dari ibu penting, karena belum pernah di dunia ini ada yang bilang: surga di telapak kaki ayah. Begitu pikirnya.

Dalam perjalanan menuju kantor, lelaki itu melalui rute berbeda. Tujuannya adalah sebuah toko buku, dia hendak membeli koran lokal terbaru. Kalau saja dia melewati rute biasa, tentu dia akan melewati simpang yang ada penjual korannya. Tapi dia lebih suka membeli koran di toko, bukan dari penjual di lampu merah. Sebenarnya dia sudah bolak-balik ke berbagai situs lowongan kerja, tapi tak menemukan yang cocok baginya. Kalaupun ada yang dirasa cocok, lokasinya cukup jauh. Seorang rekannya yang sudah senior menyarankan koran lokal untuk mencari info lowongan terbaru.

Hari masih pagi ketika dia datang di toko buku itu. Koran dan tabloid terbaru dipajang di etalase kayu dekat pintu masuk. Ketika masih SMA dia ingat, dulu orang-orang sampai berjejalan di etalase itu, membaca koran dan tabloid terbaru. Bahkan dia ingat, suka mengintip tabloid yang sampulnya wanita seksi berpakaian minim. Sekarang situasi jauh berbeda. Orang-orang seakan bisa mengakses apapun dari HP mereka. Tapi tetap ada hal yang hanya bisa didapat dari koran dan media cetak. Salah satunya mungkin adalah lowongan yang sedang dicarinya.

Suasana toko buku itu masih sepi, para karyawan terlihat mempersiapkan barang-barang yang hendak dijual di toko itu. Dia mengambil sebuah koran lokal terbaru dan membayar ke kasir. Dibacanya koran itu di teras toko, sambil berdiri. Halaman pertama tak dipedulikannya, dibaliknya lembar demi lembar mencari bagian yang berisi lowongan kerja.

Harap-harap cemas hatinya. Ketika sampai di bagian iklan baris, dia mendapati cukup banyak iklan lowongan. Ditelusurinya satu per satu, dari atas sampai ke bawah, dari satu kolom ke kolom lainnya. Ahhh, agak kecewa dia karena tak juga menemukan lowongan yang terasa pas di hatinya.

Dilipatnya kembali koran itu dan diselipkannya di ketiak. Sekarang dia kembali bimbang. Bahkan untuk berangkat ke kantor pun dia jadi enggan. Berusaha menutupi kebimbangannya, lelaki itu kembali ke etalase tempat memajang koran dan tabloid. Dilihatnya satu per satu judul yang dipajang di sana. Ada sedikit rasa prihatin yang dirasakannya melihat koran dan tabloid itu. Siapakah yang akan membelinya? Mungkin ada satu dua. Tapi menurutnya, pasti ada sebagian besar yang tak laku. Dunia sudah berubah, tegasnya pada diri sendiri.

Lamunannya terhenti ketika seorang bapak menghempaskan setumpuk koran dan tabloid di sampingnya. Dilihatnya ada stiker sebuah maskapai pesawat di plastik yang membungkus koran dan tabloid itu. Berarti koran dan tabloid itu baru saja datang diantarkan dengan pesawat. Ketika paket itu dibuka, dilihatnya ada beberapa judul koran dan tabloid. Yang paling banyak adalah koran Barometer. Koran yang legendaris, bukan hanya karena usianya yang sudah masuk setengah abad dan masih terlihat perkasa.

Tapi baginya, koran Barometer juga mengingatkan pada sang kakek yang sudah almarhum. Jika mengenang kakeknya, yang muncul di kepalanya adalah seorang tua yang berkharisma, mungkin karena beliau adalah seorang pengajar yang berdedikasi, di sebuah sekolah di kampungnya. Sering dilihatnya pada saat senggang, sang kakek membaca koran Barometer di beranda rumah.

Selain Barometer, dalam paket yang dibawa bapak itu juga ada tabloid Novia, tabloidnya ibu-ibu. Dulu Ibunya cukup sering membeli Novia, walau hanya eceran. Kadang Ibunya masih membeli Novia sekarang, walau hanya untuk melihat resep-resep masakan terbaru.

Lelaki itu kemudian berjalan lesu menuju parkiran toko buku. Dihidupkan dan dilajukannya motor dengan pelan. Kini arahnya makin tak jelas. Bagaimana kalau Aku membolos saja hari ini, pikirnya. Bilang saja alasannya sakit. Bukankah pusing juga penyakit? Ada sebuah taman yang rindang dekat toko buku itu, ke sanalah lelaki itu melarikan diri, untuk sementara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun