Mohon tunggu...
Adam Afrixal
Adam Afrixal Mohon Tunggu... Pemerhati Kebijakan Publik

Seorang pemerhati kebijakan publik di Indonesia, saya fokus pada analisis kebijakan sosial, ekonomi, dan pemerintahan. Saya berbagi pandangan untuk meningkatkan pemahaman publik tentang kebijakan yang inklusif dan berkelanjutan demi kemajuan Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Antara Data dan Warga: Etika dan Tantangan Layanan Kependudukan

28 Juni 2025   12:00 Diperbarui: 26 Juni 2025   15:21 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Layanan Kependudukan di Indonesia

Saya masih ingat ketika seorang anak muda datang dengan wajah bingung ke kantor kelurahan. Ia hendak mencetak KTP temannya, namun tidak membawa surat kuasa. "Kan saya tetangganya" katanya. Tapi dalam aturan yang berlaku, siapa pun yang mengurus dokumen orang lain---termasuk anak dewasa---harus membawa surat tugas atau kuasa, plus bukti bahwa yang diurus memang tahu dan menyetujui. Di satu sisi, peraturan ini mungkin terasa kaku. Namun, setelah mendengar cerita tentang seseorang yang menggunakan KTP adiknya untuk mencairkan pinjaman uang ratusan juta di Bank, saya tidak bisa menyangkal bahwa aturan itu perlu.

Layanan administrasi kependudukan sering kali dipersepsikan sebagai layanan yang rumit dan "ribet", tetapi sebenarnya sistem ini terus berbenah. Kini banyak proses yang telah didelegasikan ke kecamatan dan kelurahan. Perekaman dan pencetakan KTP, misalnya, tidak lagi harus di Disdukcapil pusat, tapi bisa dilakukan di beberapa kecamatan seperti Balikpapan Utara, Barat, dan Timur, serta DPMPT. Namun perubahan sistem sering tidak diikuti dengan penyampaian informasi yang memadai, sehingga banyak warga merasa bingung bahkan kesal.

Kasus-kasus kecil yang terjadi setiap hari memperlihatkan betapa pentingnya komunikasi dalam pelayanan publik. Salah satunya, saat warga datang ingin mengurus SKD (Surat Keterangan Domisili) tapi ke Disdukcapil, bukan ke kelurahan. Ada pula WNA yang datang dengan permintaan SKD, padahal yang dapat mereka peroleh adalah SKTT (Surat Keterangan Tempat Tinggal). Di titik-titik seperti inilah, misinformasi membuat warga merasa seperti dilempar-lempar, padahal sesungguhnya itu karena mereka menerima informasi yang setengah matang sejak awal.

Dalam praktiknya, layanan kependudukan juga berhadapan dengan tantangan etika dan keabsahan data. Saya pernah mencermati satu kasus yang menarik: seorang warga melakukan perubahan data tanggal lahir dari 1972 menjadi 2021. Ketika ia datang meminta surat keterangan orang yang sama, Disdukcapil menolak karena yang mereka bisa berikan hanya surat keterangan perubahan data dalam SIAK (Sistem Informasi Administrasi Kependudukan). Artinya, sistem hanya mengakui apa yang tercatat resmi, dan tidak bisa mengakomodasi "kebutuhan keterangan ganda" untuk dua versi identitas yang berbeda.

Ada pula dinamika yang muncul saat musim penerimaan siswa baru. Banyak orang tua yang "menitipkan" anaknya ke KK kerabat atau KK orang lain agar masuk zonasi sekolah negeri favorit. Namun setelah keluar aturan baru bahwa nama orang tua atau wali di KK harus sesuai dengan nama yang tertera di ijazah, banyak dari mereka kembali memindahkan anaknya ke KK semula, dan akhirnya capil kebanjiran permohonan saat masa pendaftaran sekolah. Hal ini menandakan bahwa di masyarakat, dokumen bukan hanya soal identitas, tapi juga alat strategi sosial.

Tak hanya layanan KTP namun Layanan KK (Kartu Keluarga) juga beragam: ada yang mengurus pecah KK, gabung KK, bahkan menggabungkan sementara demi kebutuhan tertentu. Namun, tak sedikit warga yang datang ke kelurahan dengan harapan sistem bisa fleksibel mengikuti kebutuhan mereka---padahal pelayanan publik berbasis data harus punya standar dan akuntabilitas yang tak bisa dinegosiasikan.

Di satu sisi, fleksibilitas juga dimungkinkan, seperti anak Balikpapan yang tinggal di pesantren di Banjar dan menginjak usia 17 tahun. Dalam kasus seperti ini, ada prosedur numpang rekam, di mana perekaman data bisa dilakukan di daerah tempat anak tersebut tinggal sementara jadi si Anak bisa mencetak KTP di Banjar. Begitu pula jika warga luar Balikpapan kehilangan atau merusak KTP dan ingin mencetak ulang di Balikpapan; selama ia membawa KK, layanan tetap bisa dilakukan. Inilah bentuk pelayanan yang adaptif, tapi tetap berdasarkan sistem.

Layanan ahli waris pun menghadirkan tantangan tersendiri. Karena sistem waris belum terintegrasi, satu orang bisa mendapatkan surat ahli waris di kelurahan A, lalu orang lain dari keluarga yang sama bisa menerbitkan versi berbeda di kelurahan B---dengan jumlah atau nama ahli waris yang tidak sama. Hal ini berpotensi memunculkan konflik, dan memperlihatkan bahwa dokumen yang terlihat sah belum tentu akurat tanpa sistem informasi yang solid dan lintas kecamatan.

Saya percaya bahwa perbaikan sistem layanan kependudukan bukan hanya soal mempercepat antrean atau memindahkan titik layanan ke kelurahan. Yang lebih penting adalah membangun kesadaran bahwa data pribadi adalah hak sekaligus tanggung jawab. Warga harus tahu bahwa ketika mereka memalsukan atau menyembunyikan data, konsekuensinya bukan hanya administratif, tapi bisa berdampak hukum. Dan petugas pelayanan pun harus diberikan pelatihan berkelanjutan, bukan hanya dalam teknis input data, tetapi juga dalam hal komunikasi dan etika publik.

Membangun layanan kependudukan yang akurat dan etis tidak bisa dilakukan sepihak. Ini proyek kolaboratif antara pemerintah, warga, dan teknologi. Ketika warga tahu hak dan kewajibannya, ketika petugas tahu batas dan wewenangnya, dan ketika sistem mendukung akuntabilitas semua pihak, maka data tak lagi sekadar angka

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun