Mohon tunggu...
AD. Agung
AD. Agung Mohon Tunggu... Penulis - Tukang ketik yang gemar menggambar

Anak hukum yang tidak suka konflik persidangan, makanya gak jadi pengacara.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demassifikasi Politik dan Strategi Partai

27 September 2016   01:25 Diperbarui: 1 Maret 2017   20:00 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
demassify on the new social reality -Ad Agung

Kebanyakan partai politik terlambat menyikapi perilaku politik masyarakat yang telah jauh berkembang. Mereka tak menyadari kondisi demassifikasi sosial yang telah diramalkan oleh Alvin Toffler –dalam analisa teori, masyarakat tersegmentasi dalam kelompok-kelompok kesadaran kolektif. Masyarakat ‘ego’ dan ‘praktis’ yang lebih tertarik pada isu-isu yang tidak memusingkan kepala, yang dekat dengan keseharian mereka, yang menjamin peningkatan harkat hidupnya.

Pada umumnya masyarakat berkembang mengikuti stratifikasi sosial yang terus bergerak pada kualitas yang semakin baik, terutama dalam ukuran pengetahuan. Perkembangan teknologi telah memanjakan mereka dalam memperoleh informasi yang bisa didapat dengan biaya relatif murah. Masyarakat kita menjadi pelahap informasi. Dengan gadget di tangan, menangkap berbagai berita dari seluruh dunia.

Santapan informasi inilah yang membangun kesadaran pada masing-masing individu dalam melihat realita yang ada. Mengetahui bagaimana seorang pemimpin membangun pencitraan dirinya, dengan karya-karya spektakuler yang tidak penting. Atau kepala daerah yang hampir tak pernah terdengar namanya, tapi buah kerjanya telah berhasil menyejahterakan rakyat.

Pengetahuan politik masyarakat terbangun dan kian berani mengambil sikap secara kolektif guna memperjuangkan hak politiknya sebagai warga negara. Kelompok-kelompok kesadaran yang menjadi gerakan massal ini yang disebut oleh Soegeng Sarjadi sebagai realitas sosial masyarakat baru, yang akhirnya berani menuntut posisi seimbang dengan struktur resmi.

Ironinya, masyarakat akar rumput di lingkungan partai justru termakan sendiri oleh sentimen kebesaran partainya yang seolah tak tergoyahkan. Sentimen buta yang membuat mereka tak menggubris adanya dinamika masyarakat bebas struktur, yang memilih untuk mandiri, dan tidak lagi mempercayai partai sebagai salah satu pilar penting dalam sistem politik demokratis.

“Change is not merely necessary to life - it is life.”
–Alvin Toffler

Sebelumnya, kita mengenal Relawan Jokowi yang fenomenal. Kini, Teman Ahok mengikuti keberhasilan sang saudara tua. Dengan sebutan yang mudah diingat, berkesan akrab dan kuat, telah berhasil menghipnotis kelas pekerja terdidik untuk mencari jalan alternatif atas kebuntuan kerja politik yang penuh dengan kepentingan pragmatis. Hal ini membuktikan bahwa budaya tanding terus berkembang mengikuti dinamika sosial yang ada.

Adalah keniscayaan partai-tanpa-bentuk tersebut berkembang bagai jamur di musim kerinduan akan partai yang tidak hanya dijadikan kendaraan politik untuk meraih kekuasaan dan jabatan. Sejumput mimpi akan pemimpin yang efektif mengelola negara serta menghasilkan kebijakan dalam ruh kebajikan yang menjamin kesejahteraan dan keadilan.

Strategi Penyesuaian

Sering kali sebuah keyakinan, jika tidak ingin disebut sebagai ketakutan, diberikan pada siapa yang berkuasa. Sekian waktu masyarakat dihembuskan nafas ketidaksukaan pada Ahok -Sang Petahana. Berbagai dalih dan segala upaya ditempuh, hingga berbuah pada kebencian buta. Padahal, kalau pun ditanya satu per satu apa dasar kebenciannya, kebanyakan mereka akan menarik nafas dan berargumen “pokoknya”.

Baru saja PDI Perjuangan mengumumkan dukungan pada Basuki Tjahaja Purnama didampingi Djarot Saiful Hidayat untuk melanjutkan memimpin Jakarta. Sebelumnya, banyak media telah mencatat jawaban berbelit para elit politik yang terus menjaga status quo pada pandangan masyarakat, bahwa partai pemenang pemilu ini akan menjaga kewibawaan dengan menunjuk kadernya sendiri untuk maju dalam Pilkada.

Berbeda dengan banyak pandangan, menurut penulis, diusungnya Ahok oleh PDI Perjuangan bukanlah sebuah drama politik, namun demikianlah sejatinya politik. Kita dapat melihat bagaimana partai berkepala banteng ini menjalankan strategi dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian guna mendapatkan dukungan.

Jika dilihat dari strategi yang dilakukan, PDI Perjuangan lihai memanfaatkan isu-isu sosial-politik yang lekat dengan masyarakat. Bahkan jika memang benar, telah melakukan demassifikasi pada tubuh partainya sendiri, dengan membelah kader-kadernya ke dalam komponen-komponen terpisah namun solid.

Dalam tahapan waktu yang pendek, masing-masing komponen kader tersegmentasi ke dalam beragam harapan dan kepentingan yang sesungguhnya lemah. Tanpa adanya visi yang kuat, nalar kritis para kader menjadi mandul. Sehingga tidak memiliki strategi apalagi aksi, selain mengikuti apa kata partai sesuai arahan elitnya.

Berkat kepiawaian dalam membaca situasi politik dan pemetaan kekuatan, PDI Perjuangan dengan jaringan massa yang luas telah berhasil memperoleh poin besar untuk bisa memenangkan kompetisi di Pilkada.

Namun keberhasilan dalam tahap ini bukanlah akhir dari perjalanan. Partai harus berhati-hati dengan keterbelahan misi dan pandangan yang sangat mungkin mengkristal dalam aksi bersama menentang kebijakan partai hasil olahan elitis.

Dalam bingkai Pilkada DKI, Basuki Tjahaja Purnama bukanlah kader PDI Perjuangan. Maka sangat mungkin muncul sentimen kecemburuan kader lain yang merasa cukup layak untuk juga dijagokan. Belum lagi kemarahan massa partai yang merasa dipermainkan sebagai kelas nomor dua yang diperas loyalitasnya.

Di sinilah Marx berteriak,

“..Borjuasi memproduksikan penggali kuburnya sendiri!”

Namun begitulah politik, alam yang tak pasti. Karna kepentingan partai adalah hasil rembuk sekian banyak kepentingan, yang kadang dapat disepakati, kadang dicaci setengah mati.

Mengintip fenomena PDI Perjuangan dan Ahok bukanlah semata melihat sebuah partai dan orang, namun lebih jauh sebagai gambaran realitas sosial-politik saat ini, di Indonesia, pada masyarakatnya.

Demassifikasi politik dalam masyarakat bukanlah virus yang akan meniadakan partai, namun vitamin bagi keadaban publik dalam membangun demokrasi dan cita-cita bernegara. Keinsyafan kita sebagai warga negara dalam menanggapi politik, adalah keinsyafan kita berkonstitusi. (Ad Agung Sulistyo)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun