Mohon tunggu...
Ahmad Baihaqi
Ahmad Baihaqi Mohon Tunggu... wiraswasta -

Tulisan adalah goresan titik pada mangkuk huruf NUN. Berlayarlah dg mangkuk itu...

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Isra Mi’raj, Peristiwa Metamorfosa Akal

5 Juni 2013   15:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:30 911
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14317420091319151402

[caption id="attachment_417815" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/sains.kompas.com"][/caption]

Isra

Dari sebagian definisi pada umumnya, barangkali sedikit bisa kita “raba” tentang pengertian umum dari akal. Pada intinya, bahwa akal itu merujuk kepada sesuatu yang berada di dalam diri kita. Bukan benda otak berupa daging yang letaknya di dalam kepala, tapi berupa keberadaan abstrak yang menuntun manusia untuk berpikir dan berbuat. Dari akallah manusia itu memahami dan melakukan sesuatu. Dari akal pula manusia merasakan sesuatu; sakit, enak, bahagia, susah, menderita, sengsara, dll. Dari akal pulalah munculnya perikatan hukum beserta akibat-akibat hukum dari perbuatan dan pemikiran yang dimunculkannya.

Manusia diikat oleh cara berpikir akalnya yang masuk melalui panca inderanya. Darinya, seolah-olah ia berada dan ditempatkan pada tempat dan lingkungan tertentu sesuai kapasitas berpikirnya. Lingkungan yang menunjukkan kapasitas itulah tanda dari alam akalnya. Jangkauan alam pikirnya menentukan perbuatan baik dan buruk. Karena itulah, ia terikat oleh alamnya sendiri. Hal ini tidak bisa ditolak, diminta, ditambah dan dikurangi berdasarkan keinginannya belaka. Kecuali itu, ketika dirinya berada pada suatu dorongan kuat yang tanpa disadari bahwa itu adalah sebuah proses tranformasi akal (semacam metamorfosis) yang sepertinya nampak sebagai kesusahan, penderitaan, kesakitan, dst. Stimulasi akalnya bergerak cepat untuk menyadari sesuatu yang selama ini tertutup oleh kenikmatan-kenikmatan inderawi.

Hal yang sebenarnya terjadi dalam peristiwa isra mi’raj adalah fenomena akal hingga sampai kepada batasan terakhirnya. Sebuah peristiwa dalam bingkai agama yang menjadi ‘kontroversi’ dalam pandangan sains. Jikapun ada, tinjauan sains yang melihat dan mendukung adanya peristiwa tersebut baru berupa analogi semata, belum bisa dibuktikan secara meyakinkan. Artinya baru sebatas teoritis.

Ya, begitulah kecendrungan sains dalam menetapkan sesuatu yang harus dengan pembuktian-pembuktian secara ilmiah. Wilayah intuisi yang justru banyak memenuhi literatur agama malah sering diabaikan begitu saja. Sehingga, ketika kaum agama bicara soal akhlak, budi pekerti dan pilar-pilar akidah dianggapnya sebagai ‘candu’ yang mempedaya akal. Terakhir, kaum agamawan dan orang-orang yang berpegang teguh pada kebenaran agamanya dianggap para pengkhayal dan penutur dongeng. Padahal, wilayah keagungan dan ketinggian ilmu justru berada pada teks-teks agama.

Meski belum tergali secara maksimal oleh para penganut agama, teks-teks agama itu menjelaskan sesuatu hal yang selama ini tertutup oleh pandangan manusia yang hanya mengandalkan akalnya. Mengandalkan akal justru bermakna menuhankannya.

Dalam pandangan umum, akal adalah swa-kognisi manusia yang merupakan cahaya keberadaan manusia. Karena itu, ragam tingkatan akal adalah ragam tingkatan swa-kognisi manusia tentang dirinya dimana swa-kognisi mencakup seluruh tingkatan pencerapan dan pemahaman serta media inderawi, fantasi, pikiran, ingatan dan lain sebagainya. Dan kesemua ini memiliki pencerapan dan pemahaman insani. (Islam Quest Net)

Nah, memahami isra mi’raj itu sangat tergantung dari tingkatan swa-kognisi manusia itu sendiri. Secara integral, seorang yang beragama tidak cukup hanya memahaminya dengan cara mendengar cerita atau ceramah yang begitu fantastis. Atau membaca dari sumber-sumber keagamaan secara tekstual. Swa-kognisi yang dimaksud di atas adalah bagaimana akal itu membuat suatu lingkaran berpikir dengan batas-batas maksimal yang bisa mempengaruhi tingkah lakunya sendiri. Artinya, peristiwa isra mi’raj itu adalah sebuah metamorfosa akal yang mesti terjadi dan dirasakan oleh siapapun. Karena itulah Tuhan menuliskannya menjadi teks agama sebagai i’tibar bagi siapapun untuk bersiap diri menghadapi metamorfosa akalnya masing-masing.

Coba kita telaah bunyi teksnya :

“Maha Suci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjid Haram ke Masjid Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (al-Isra : 1)

Dari teks tersebut, Maha Suci-lah yang telah membuat metamorfosa akal itu. Bukan Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Raja, dan lain-lain. Maha Suci itu telah menjadi semacam “motor penggerak” sehingga si hamba mengalami sebuah perjalanan yang dia sendiri juga tidak menyangka akan terjadinya peristiwa tersebut. Makna filosofis dari perjalanan malam hari adalah ketidak tahuan hamba akan peristiwa tersebut. Sekali lagi, inilah yang saya sebut sebagai kehendak takdir metamorfosa akal itu tak bisa diminta, ditolak, dihindari, ditambah dan dikurangi. Semua atas mekanisme Sang Maha Suci. Si hamba dalam posisi tidak tahu. Jika pun menjadi tahu, maka lingkaran akalnyalah yang memberi tahu, bahwa dia tidak melihat sesuatu yang lain, kecuali Dia.

Nah, karena peristiwa itu adalah mekanisme Sang Maha Suci, maka untuk sampai kepada metamorfosa akal, seyogyanya memakai mekanisme Sang Maha Suci. Jelas, keterkaitan Sang Maha Suci dengan kesucian akal si hamba sangat kuat. Coba tengok di akhir ayat tersebut, “Dia-lah yang Maha Mendengar dan Maha Melihat”. Maksudnya apa sih, ketika berbicara tentang sebuah ‘perjalanan suci’, kok tiba-tiba Dia menegaskan tentang pendengaran dan penglihatan-Nya? Apa sih, hubungan antara perjalanan kesucian yang dijalankan oleh Maha Suci dengan penegasan Maha Mendengar dan Maha Melihat? Apalagi sebelum akhir ayat itu, Dia mengatakan tentang ‘memperlihatkan tanda-tanda kebesaran-Nya. Nah lho? Sebenarnya siapa sih yang melihat dan siapa yang diperlihatkan?

Coba perhatikan kembali dengan seksama penggalan-penggalan kata yang dipilih pada ayat tersebut. Ternyata kesucian akal si hamba sangat berkaitan erat dengan apa yang tersembunyi di balik makna ‘Masjid Haram’ dan ‘Masjid Aqsha’, dan berkaitan erat pula dengan indera pendengaran dan penglihatan. Bahwa kata ‘Masjid’ itu adalah sebuah tempat sujud yang menunjukkan wilayah atau jangkauan berpikir akal. Haram adalah sebuah tata cara bersujud berdasarkan tingkatan swa-kognitif awal sebelum berjalan (isra). Di sana banyak peraturan, larangan-larangan, simbol-simbol yang mengikat secara hukum. Apa yang ditunjukkan di Masjid Haram adalah sebuah tatacara bersujud dengan model banyak peraturan.

Namun lain halnya ketika bersujud di Masjid Aqsha. Metode bersujud setelah bermetamorfosa itu menunjukkan sesuatu yang lebih luas dan lebih agung. Aqsha adalah kata komperatif (ism tafdhiil) dari ‘qushwa’ (luas, agung). Jadi, Aqsha bermakna lebih luas, atau lebih agung. Nah, fenomena di Masjid Aqsha adalah hasil dari sinergisasi kesucian hamba dengan yang Maha Suci di Masjid Haram. Dari situlah metamorfosis akal itu dimulai. Bahwa ketika kesucian pendengaran dan penglihatan si hamba sudah sampai tingkatan penyingkapan (kasyf), maka itu artinya Sang Maha Suci telah ‘mencuci otak si hamba’ sehingga jarak dan waktu tak lagi menjadi pijakan. Dimensi jarak dan waktu telah sirna dan menjadi semacam cahaya itu sendiri. Dimensi jarak dan waktu berada pada porosnya. Inilah yang menjadi semcam ‘kendaraan’ yang bisa melintasi jarak bermil-mil di bumi dalam hitungan menit bahkan detik. Dalam film fiksi ilmiah disebut teleport. Sama halnya ketika mendekati sumber atau poros waktu, yakni matahari. Semakin mendekati matahari, maka perputaran akan semakin cepat. Satu menit di dekat matahari, sama dengan jutaan tahun di bumi.

Bahwa indera pendengaran dan penglihatan adalah bekerjanya energi gelombang dan cahaya. Keduanya menjadi kunci terhadap proses metamorfosis akal seorang manusia. Kesucian akal menjadi dasar prilaku dalam menata alamnya sendiri.

Dalam pandangan filsafat komunikasi, akal adalah suatu peralatan rohaniah manusia yang berfungsi untuk membedakan yang salah dan yang benar serta menganalisis sesuatu yang kemampuannya sangat tergantung luas pengalaman dan tingkat pendidikan, formal maupun informal, dari manusia pemiliknya. Jadi, akal bisa didefinisikan sebagai salah satu peralatan rohaniah manusia yang berfungsi untuk mengingat, menyimpulkan, menganalisis, menilai apakah sesuai benar atau salah. (Wikipedia)

Mi’raj

Nah, berbeda lagi dalam peristiwa mi’raj. Meski berurutan dalam waktu terjadi peristiwanya, mi’raj merupakan fenomena yang tidak mudah dipahami akal. Tak ada kata ‘mi’raj dalam teks al-Qur’an yang dapat dijadikan rujukan. Coba kita telaah rujukan ayat yang satu ini sebagai yang sering dipakai dalil akan peristiwa mi’raj.

“Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat. Yang mempunyai akal yang cerdas; dan (jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli. Sedang dia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi. Maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu dia menyampaikan kepada hambanya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Maka apakah kaum (musyrik Mekkah) hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya?” (an-Najm : 1-12)

Ayat itu menjelaskan tentang sebuah fenomena yang secara umum kontroversial. Kalimatnya tidak biasa dan tidak bisa dipahami jika hanya sekedar dibaca sepintas lalu. Rangkaian ayat itu adalah sebuah penegasan tentang ‘kegilaan’ yang memang dalam pandangan umum seperti orang sesat. Karena itu, Allah tegaskan dalam ayat kedua bahwa Muhammad itu tidak sesat dan tidak keliru. Mengapa ada pernyataan seperti itu? Barangkali ya memang seperti orang yang tersesat. Ucapannya tidak bisa dipahami secara akal.

Sangat mengesankan sekali bunyi ayat tersebut. “Demi bintang ketika tenggelam” adalah sebuah alegori yang sangat misterius. Padahal kalau kita menyadari, kapan sih bintang itu tenggelam? Kata-kata ‘tenggelam’ dalam bahasa Arab bukan memakai kata ‘ghurub’ seperti ‘ghurubisysyamsyi’ (matahari tenggelam), tapi memakai kata ‘hawa’. Nah lho?!! Trus, apa bedanya dengan kata ‘hawa’ dalam makna hawa nafsu? Ya dari segi kata gak ada bedanya. Tulisannya aja sama.

Bintang tenggelam dijadikan kalimat sumpah Tuhan (wau lil qasam). Ada apa sih dengan bintang ketika tenggelam? Tuhan telah mengisyaratkan tentang sebuah fenomena bahwa tenggelamnya bintang menunjukkan sebuah kenyataan ‘cahaya langit’ yang tenggelam dan lebur dalam diri hamba pilihanNya yang berada di bumi. Karena itu, si hamba dalam posisi seperti seorang yang ‘gila’. Mengapa? Karena bahasanya ya bahasa langit. Tak bisa dipahami oleh cara pandang kebanyakan. Sampe di sini dulu deh tulisannya yah... Wallahu A’lam, waHuwa muwaffiq ilaa sabiilit taufiq

alHajj Ahmad Baihaqi


Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun