Mohon tunggu...
Ahmad Baihaqi
Ahmad Baihaqi Mohon Tunggu... wiraswasta -

Tulisan adalah goresan titik pada mangkuk huruf NUN. Berlayarlah dg mangkuk itu...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Banjir dan Punahnya Karakter Bangsa

19 Januari 2014   12:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:41 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dulu sekitar tahun 2007-2008, saya pernah berdemo bersama masyarakat sekitar lingkungan untuk menentang pembangunan mall di sekitar wilayah saya. Saat itu, demo di titikberatkan pada pembangunan mall yang tidak mengindahkan tata lingkungan. Teriakan lantang bersama teman-teman menentang pembangunan tersebut sangat jelas, yakni prediksi tata kota yang sangat rentan banjir.

Saat itu, saya satu-satunya orang yang sama sekali tidak setuju (bukan setuju dengan catatan) dengan pembangunan mall yang sama sekali tidak membawa manfaat signifikan bagi kehidupan lingkungan masyarakat. Mengapa begitu? Karena saya berpikir bahwa kehadiran mall hanya memunculkan ‘malapetaka’ sosial dan lingkungan yang lebih menampakkan wajah penjajah (neo-imperialisme). Bukan sekedar banjir, tapi lebih besar dari itu.

Walhasil, demo tinggallah demo. Meski sudah dilakukan dengan cara yang paling baik; yakni duduk bareng dengan para pengambil kebijakan, tapi tetap berlalu begitu saja seperti angin. Keringat lelah dan panas terik matahari karena berdemo hanya menjadi ‘lawakan’ kelelahan yang sama sekali tidak diindahkan oleh developer, walikota, dan anggota dewan, serta mereka yang terlibat dalam pengambilan kebijakan.

Setelah itu, saya dicap sebagai orang konservatif, tradisionalis ortodoks yang anti pembangunan. Saya hanyalah orang yang dituduh menghambat kemajuan. Dan segala stigma yang dikesankan negatif ditempelkan di jidat saya. Hahahaha….. picik sekali.

Setelah suara saya dan teman-teman masyarakat digusur zaman, mall pun berdiri megah bak tuan tanah di zaman VOC. Bujuk rayu mental konsumtifpun mulai “digoyang” di mall tersebut. Berbagai metode promosi yang seolah menawarkan berbagai macam kemudahan bagi lingkungan masyarakat sekitar pun mulai dimainkan. Tak lama kemudian, mal-mal sejenis tumbuh subur di jarak yang tidak terlalu jauh. Satu, dua, tiga, hingga puluhan mal yang semakin hari, semakin besar “wilayah jajahannya”, lebih luas, lebih megah dan lebih mewah dari mall yang pertama saya demo tadi.

Sungguh tragis, suara lantang tentangan demo saya bersama sebagian kecil masyarakat sekitar semakin tenggelam zaman. Ternyata penjajahan semakin nyata ! Topeng klasik modernisasi, globalisasi, industrialisasi semakin sering muncul di tengah-tengah pekikan demokrasi dan kebebasan hak-hak sipil. Tak kalah ramainya dengan pekikan untuk kembali kepada “syariat”. Bahkan konon, keduanya selalu berjalan beriringan.

Akhirnya, tak perlu lama membuktikan kekhawatiran saya dan teman-teman masyarakat tentang dampak dari pembangunan mall yang saya sebut sudah sangat anarkis. Bahkan pembangunan itu seperti sudah menggila, bukan hanya di simpul-simpul banjir (daerah resapan, sawah, rawa, dll, dengan kontur tanah dataran rendah), tapi juga di simpul-simpul kemacetan kendaraan. Lebih gila lagi, daerah pemukiman masyarakat sudah disulap menjadi mal.

Saat ini, banjir menjadi momok tahunan yang tak kunjung selesai. Gubernur DKI Jakarta, Jokowi, sudah melakukan berbagai kegiatan yang barangkali dianggap sebagai simpul-simpul terjadinya banjir. Mulai dari relokasi pemukiman, propaganda agar tidak membuang sampah sembarangan, rekayasa iklim dengan memindahkan hujan, hingga pengerukan kali dan rehabilitasi gorong-gorong saluran air serta rehabilitasi sebagian bendungan.

Sebelumnyapun (saat masa Foke) sudah dilakukan dengan menghabiskan dana triliunan rupiah, yakni membuat kanal banjir timur dan barat. Tapi banjir tak pernah bergeming, tetap “eksis” sepanjang masa. Hahahaa…., anjing menggonggong kafilah berlalu.

Saya coba merenung, sambil menanggalkan semua sikap yang berbau skeptis dan menyalahkan orang lain. Bertanya kepada diri sendiri sambil mengingat-ingat tentang sebuah adagium klasik bahwa “suara rakyat adalah suara Tuhan” (vox populi vox dei). Lho, apa hubungannya yah….?

Begini say, bahwa kita secara tidak sadar juga menginginkan banjir. Bahasa nafsu dan pikiran kita justru menginginkan banjir itu tetap “eksis” sepanjang masa. Sebagian kecil saja yang memang benar-benar tidak menginginkan banjir. Tapi kebanyakan dari kita, tanpa disadari, justru menginginkan banjir.

Kita bangga dengan prestise dan budaya konsumtif. Kita suka dan merasa keren ketika berjalan-jalan ditempat penuh beton dan menjulang tinggi. Kita juga suka menghabiskan duit kita hanya untuk sekedar memenuhi nafsu disebut sebagai orang modern. Kita juga suka bahwa bangunan-bangunan fisik yang megah, yang berdiri tanpa mengindahkan tata lingkungan, yang seolah menjadi prasayarat sebagai kota besar, itu menjadi tempat yang mesti ada disekitar lingkungan kita. Bahkan kita juga suka kalau masjid dan musholla juga dibangun dengan megah. Bahkan kalau bisa, setiap sepuluh meter harus ada masjid atau musholla. Jadilah ia sebagai “barter”, “silahkan bangun mall, asal masjid atau musholla juga dibangun”. Hahahaa….

Tuhan hanyalah memberikan mekanisme kausalitas. Jika sebagian besar suaramu menginginkan sesuatu, maka Tuhan akan berikan keinginan itu lewat sebab-musabab tertentu. Begitulah mengapa Tuhan tetap memberikan “kebebasan” kepada kita untuk memilih jalan; jalan selamat atau jalan binasa ! silahkan pilih. Sebab keduanya akan mengimplikasikan sesuatu.

“Hadiah banjir” ini hanyalah salah satu dari sekian banyak hadiah akibat dari“kesenangan” kita. Kesenjangan sosial, kemacetan, pembunuhan usaha rakyat kecil, hedonisme, kepunahan budaya bangsa, kegamangan mentalitas dan kehilangan jatidiri adalah jenis-jenis “hadiah” yang muncul dan tumbuh subur sebagai penyakit bangsa dan dapat mengakibatkan punahnya kesadaran “national character building”.

Laa Ilaaha illaa Anta, Subhaanaka innii kuntu minadz dzaalimiin. Wallaahu muwaffiq ilaa sabiilit taufiiq…

alHajj Ahmad Baihaqi



Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun