Mohon tunggu...
Achmad Syarifhidayatullah
Achmad Syarifhidayatullah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

Menyukai musik dan filem

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Polemik Menikahi Lawan Jenis Secara Paksa pada Pria Homoseksual

3 Juni 2023   21:40 Diperbarui: 3 Juni 2023   21:49 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI: Pernikahan paksa pada lawan jenis oleh pria homoseksual (Photo: Freepik.com)

Dalam kemelut cepatnya penyebaran informasi, media maya dihebohkan dengan unggahan pengguna tiktok yang membagikan video ungkapan kekecewaan terhadap pujaan hatinya (Pengunggah video, red) yang selama ini menyembunyikan orientasi seksualnya sebagai seorang homoseksual.

Menanggapi viralnya unggahan video tiktok tersebut, respons masyarakat pun beragam. Banyak dari mereka yang mendiskreditkan kaum homoseksual sebagai biang keburukan dari segala lini sosial. Bahkan, para netizen juga berlomba-lomba menceritakan kejadian serupa yang menimpa pada kerabat masing-masing, seolah hal ini merupakan rahasia umum yang tidak memiliki solusi berkesudahan. Bila dipandang secara holistik, fenomena ini merupakan permasalahan kompleks terkait lingkungan masyarakat yang masih mendiskriminasi perilaku homoseksual, seorang homoseksual yang didesak untuk "sembuh", dan kaum perempuan dalam khazanah masyarakat patriarkis yang dianggap dapat melayani pasangan lelakinya—termasuk "menyembuhkan" lelaki homoseksual.

Homoseksual merupakan ketertarikan seksual terhadap sesama jenis yang didasari atas beragam faktor yang kompleks. Pembicaraan seputar homoseksual sendiri masih merupakan topik yang tabu, terutama pada kondisi Indonesia akhir-akhir ini yang mana konservatisme agama semakin meningkat sebagai dampak dari polarisasi pemilu tahun 2019. Bila dirunut ke belakang, masyarakat Indonesia telah lama mengenali konsep homoseksual dalam spektrum LGBTQ pada tingkat etnisitas, seperti keberadaan warok dan gemblak dalam tradisi jawa kuno. Seiring dengan masuknya agama abrahamik ke bumi Nusantara, terdapat pergeseran paradigma masyarakat sebagai penyesuaian terhadap keyakinan baru tersebut, termasuk terhadap perubahan cara pandang terkait hubungan sejenis sebagai aib yang harus dihilangkan dari kepribadian seseorang. Dalam dinamika Indonesia sebagai negara berdaulat, pemerintah mewajibkan warga negaranya untuk memilih 6 agama yang di antaranya memiliki pandangan negatif terhadap perilaku homoseksual.

Secara biblikal, perilaku homoseksual termasuk ke dalam dosa yang besar. Hal ini didasarkan oleh kisah Kaum Sodom yang menerima azab dari Tuhan atas perilaku homoseksual. Kisah tersebut dipercayai oleh mayoritas agama di Indonesia. Untuk menghindari bala tersebut, para pemuka agama seringkali melontarkan ujaran kebencian terhadap kaum homoseksual. Perilaku homoseksual dipandang sebagai penyakit yang harus disembuhkan. Standar peran berbasis jenis kelamin merupakan solusi oleh banyak dari norma-norma masyarakat untuk menghindari perilaku tersebut. Heteronormativitas sebagai produk segregasi peran berbasis jenis kelamin juga berdampak pada lingkungan masyarakat yang patriarkis. Ketimpangan tersebut turut menimbulkan ketidakadilan.

Berkebalikan dengan pandangan agama, dunia psikologi yang didasarkan atas bukti ilmiah sepakat menyatakan jika homoseksual bukan merupakan penyakit. Perubahan orientasi seksual yang didasari atas tekanan dari luar justru akan menimbulkan konflik batin yang berujung pada trauma psikologis berkelanjutan. Akan tetapi, pemahaman masyarakat Indonesia terhadap situasi ini masih sangat minim dan malah cenderung menentang perubahan panduan DSM V melalui konspirasi-konspirasi yang tidak berdasar. Lingkungan konservatif yang kian menjamur membuat fakta ini menjadi sulit diterima karena adanya perbedaan kepentingan dogma.

Stigma dari masyarakat turut mendorong kaum homoseksual untuk menutup identitas diri di ruang publik. Bahkan, banyak dari masyarakat yang tidak menyadari bahwa sebenarnya mereka memiliki ketertarikan seksual terhadap sesama jenis. Kaum homoseksual yang jenuh atas diskriminasi masyarakat akan berusaha untuk hidup sesuai dengan standar norma, seperti menyukai lawan jenis. Banyak dari mereka yang hidup dalam fase penyangkalan atas ketertarikan seksual. Akan tetapi, lingkungan masyarakat terus mendorong seseorang untuk tertarik dengan lawan jenis demi mencapai pernikahan. Pernikahan menurut rata-rata masyarakat Indonesia merupakan tahapan wajib bagi tiap manusia yang terkadang dapat dilakukan secara paksa demi terhindar dari cemooh publik.

Seorang homoseksual yang melangsungkan pernikahan biasanya memandang bahwa menikah adalah penyelesaian instan untuk "menghilangkan" ketertarikan seksualnya. Ada pun yang melangsungkan pernikahan sebagai kamuflase agar terlihat "normal" di mata awam dengan mengesampingkan komitmen jangka panjang. Dari sudut pandang pasangan perempuan, pernikahan dengan pria homoseksual akan menimbulkan permasalahan batin yang serius. Pernikahan paksa yang terjalin akan cenderung memiliki ikatan sosial yang minim. Egoisme pria homoseksual dalam memakai topeng pernikahan untuk menutupi jati dirinya hanya akan membohongi semua pihak, termasuk dirinya sendiri.

Benang merah dari permasalahan ini terletak pada minimnya pengetahuan masyarakat terhadap keberagaman orientasi seksual. Masyarakat menganggap bahwa hubungan asmara antara dua insan masih berdasar pada perbedaan jenis kelamin yang biner dengan mengesampingkan keragaman seksualitas. Kentalnya pengaruh agama pada masyarakat juga mendorong penyangkalan adanya perilaku homoseksualitas. Homoseksual masih dianggap sebagai penyakit, bukan sebagai suatu identitas yang melekat. Anggapan masyarakat terkait hal tersebut sungguh berbahaya. Pria homoseksual akan memiliki rasa bersalah sepanjang hidupnya. Satu-satunya cara sementara untuk melepas rantai diskriminasi tersebut adalah dengan menjalin hubungan dengan lawan jenis yang justru akan memberikan permasalahan yang lebih kompleks. Meski tidak memiliki perasaan, hubungan tersebut terpaksa dilakukan demi memenuhi ego masyarakat.

Pengetahuan akan gender dan orientasi seksual masih menjadi bahan yang tabu dibicarakan. Inklusivitas pembahasaan tersebut masih sulit dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Pemerintah sebagai pemangku kuasa seharusnya dapat membuka mata terhadap diskriminasi kelompok LGBTQ sebagai kaum marjinal di Indonesia. Urgensi akan pengenalan keberagaman gender dan seksualitas di masyarakat sangatlah penting demi terwujudnya Bhinneka Tunggal Ika yang sebenarnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun