Beberapa hari terakhir, istilah "Purbaya Way" mulai ramai di linimasa ekonomi dan politik. Bukan nama jalan, bukan pula gaya baru minum kopi---melainkan gaya baru mengelola keuangan negara. Banyak yang mulai bertanya-tanya, "Apa sih Purbaya Way itu?" Ada yang mengira ini sekadar jargon gaya bicara Menteri Keuangan baru, Pak Purbaya Yudhi Sadewa, tapi kalau kita simak lebih dalam, di balik istilah ini ada filosofi yang ingin mengubah cara pemerintah dan publik memahami kata "efisiensi".
Cerita ini bermula dari momen ringan tapi menggigit. Dalam sebuah wawancara, seorang wartawan bertanya kepada Pak Purbaya, "Apakah Bapak akan melakukan efisiensi anggaran?" Pertanyaan itu dijawab balik dengan tanya yang lebih tajam: "Menurut Anda, apa itu efisiensi?" Sang wartawan menjawab cepat, "Ya... pemotongan atau blokir anggaran, Pak." Di situlah Pak Purbaya tersenyum kecil lalu berkata, "Nah, itu keliru. Efisiensi bukan berarti memotong, tapi memaksimalkan yang ada." (Detik.com, 10 Oktober 2025)
Jawaban sederhana itu jadi bola panas. Banyak yang langsung membandingkan dengan gaya pendahulunya. Tapi yang menarik, Pak Purbaya tak sedang menegasikan prinsip efisiensi, melainkan mencoba mengembalikan maknanya ke akar: bukan "mengurangi agar hemat," tapi "mengelola agar optimal." Sebuah pergeseran kecil dalam kalimat, tapi besar dalam dampak kebijakan.
Efisiensi Keliru: Bahaya "Diet Ekstrem" Fiskal
Selama ini, persepsi publik tentang efisiensi sering identik dengan pemotongan anggaran. Kalau dengar kata efisiensi, bayangan kita langsung ke blokir, penghematan, atau revisi pagu. Padahal secara teori ekonomi publik, efisiensi adalah soal hasil terbaik dari sumber daya yang terbatas, bukan soal siapa yang paling sedikit mengeluarkan uang. Dalam bahasa sederhana, bukan berarti "irit," tapi "tepat guna."
Mengapa pemotongan dulu dianggap efisiensi? Karena dalam tekanan defisit, langkah paling cepat adalah cut spending. Anggaran yang belum terserap, diblokir. Kegiatan yang belum jalan, ditunda. Dan hasilnya memang cepat terasa di kertas --- defisit turun, rasio membaik, laporan terlihat rapi. Tapi itu seperti orang yang diet ekstrem: berat badan turun, tapi daya tahan tubuh ikut hilang. Negara pun bisa "kurus" secara fiskal tapi "lemah" secara ekonomi.
Di sinilah Pak Purbaya menolak paradigma lama. Ia menegaskan bahwa efisiensi yang ia maksud bukan soal memangkas angka, tapi memperbaiki arah dan kecepatan aliran uang. Dalam wawancaranya, ia berkata, "Saya bukan spending free, efisiensi saya nggak motong anggaran. Anggarannya sama. Tapi impact-nya akan beda kalau kita pintar me-manage uang." (Detik Finance)
Secara filosofis, efisiensi adalah kemampuan menghasilkan output maksimal dengan input terbatas. Artinya bukan memotong input, tapi memastikan input yang ada menghasilkan nilai tertinggi. Dalam konteks APBN, itu berarti setiap rupiah harus menghasilkan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat, bukan sekadar "tidak dibelanjakan" demi tampil hemat.
Dampak Perlambatan Belanja di Daerah
Untuk memahami konteks ini, mari kita mundur sedikit ke awal tahun 2025. Kala itu, isu efisiensi menjadi sorotan utama. Pemerintah pusat mengumumkan sejumlah kebijakan efisiensi di berbagai Kementerian/Lembaga. Banyak yang menafsirkan langkah itu sebagai sinyal pemotongan anggaran, dan efeknya terasa hingga ke daerah. Program tertunda, kontraktor menunggu pembayaran, proyek infrastruktur tersendat. Secara makro, belanja negara melambat.