Di banyak sudut kota, kita makin jarang melihat orang membayar tunai. Di minimarket, tukang parkir, bahkan pedagang kaki lima, penggunaan QRIS dan dompet digital sudah menjadi kebiasaan baru. Masyarakat bergerak cepat menuju cara hidup tanpa uang fisik---lebih praktis, aman, dan minim kontak. Peralihan ini bukan lagi sekadar gaya hidup urban, melainkan realitas ekonomi digital yang makin mengakar.
Namun, saat kita beralih ke institusi pemerintah, terutama dalam hal pengeluaran belanja, ceritanya berbeda. Meskipun infrastruktur sudah tersedia---seperti e-Katalog, Digipay, dan instrumen pembayaran non-tunai seperti Kartu Kredit Pemerintah (KKP) dan kartu debit---transaksi secara tunai masih menjadi pilihan utama di banyak satuan kerja (satker). Padahal, dari sisi regulasi dan kebijakan, arah perubahan sudah jelas: pemerintah mendorong transaksi ke arah digital dan cashless.
Lalu apa yang menahan perubahan ini? Di lapangan, banyak pejabat pengelola keuangan dan bendahara yang mengaku masih belum terbiasa. "Takut ribet," begitu alasan yang kerap muncul. Kekhawatiran akan kesalahan administrasi, proses pertanggungjawaban yang dianggap lebih rumit, hingga kecemasan menggunakan sistem baru menjadi tembok psikologis yang nyata. Ada juga yang mengatakan, "kalau tunai tinggal ambil, selesai," sementara cashless dirasa terlalu teknis dan prosedural.
Padahal, kalau dilihat dari sisi akuntabilitas, transaksi non-tunai justru memberikan jejak yang lebih bersih. Setiap transaksi terekam otomatis, memudahkan pengawasan dan pelaporan. Risiko kehilangan uang tunai, kesalahan input manual, bahkan potensi penyalahgunaan, jauh lebih kecil dalam sistem yang terdigitalisasi. Dari sisi keuangan negara, semakin sedikit uang mengendap di tangan satuan kerja, semakin rendah pula biaya dana (cost of fund) yang harus ditanggung negara.
Keuntungan lainnya adalah efisiensi. Dalam sistem manual, belanja sekecil apapun bisa melalui rantai birokrasi yang panjang: permohonan uang ke bendahara, pengambilan tunai, pengeluaran, dan pelaporan terpisah. Bandingkan dengan pembayaran cashless yang bisa dilakukan langsung oleh pejabat pengadaan, dengan bukti digital yang otomatis terekam dan bisa segera di-upload sebagai pelaporan.
Sementara itu, masyarakat di luar sistem pemerintah justru sudah lebih siap. Di warung kopi, bayar pakai QRIS. Di angkot, cukup pakai e-money. Di konser musik atau food bazaar, semua serba nirsentuh. Realitas ini menggelitik: ketika warga sudah terbiasa cashless, mengapa pengelola dana negara justru masih terjebak dalam cara lama?
Tentu, perubahan tidak selalu mudah. Ada masa transisi, ada resistensi. Tapi dengan ketersediaan merchant yang makin luas, teknologi yang makin ramah pengguna, dan kesadaran yang terus dibangun, transisi ini bukan lagi soal bisa atau tidak---melainkan soal mau atau belum.
Kini, saatnya kita berhenti menunggu. Negara tidak boleh kalah lincah dari masyarakatnya sendiri. Transaksi cashless bukan hanya soal alat pembayaran, tapi soal cara baru mengelola keuangan negara dengan lebih cepat, transparan, dan bertanggung jawab. Dan perubahan itu, harus dimulai dari sekarang.
Disclaimer: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan resmi institusi atau organisasi tempat penulis bekerja.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI