Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ucapan Maaf, tapi "Copy-Paste"

6 Juli 2016   00:33 Diperbarui: 7 Juli 2016   13:56 638
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Copy paste | Sumber: www.forumblogindo.com

Sejak selesai shalat isya HP saya tidak berhenti menerima ucapan permohonan maaf. Mengalir bagai air bah, kata-kata, kalimat-kalimat, paragraf-paragraf, ungkapan-ungkapan, berjejal-jejal memadati layar. Sambi menunggu anak-anak ngaji takbiran, saya sempatkan membaca satu atau dua pesan masuk diantara puluhan pesan lainnya.

Membaca dua atau tiga pesan dari sahabat, saya sudah disergap kejenuhan. Pasalnya, pesan-pesan itu – tanpa mengurangi esensi permohonan maaf di hari Idul Fitri – saya merasa berhadapan dengan teks yang kering kerontang. Ibarat makanan, ia dimasak tanpa garam. Anyep, kata orang jawa.

Ah, saya bukan sok-sokan menjadi kritikus sastra atau ahli bahasa tapi, jujur, masakan teks tanpa garam itu memupus nafsu untuk mengunyahnya. Silahkan Anda mencermatinya. Rasakan nuansa kalimatnya. Tangkap pesan yang tersurat. Perhatikan pilihan diksinya. Semoga Anda tidak mengambil kesimpulan bahwa kalimat-kalimat di layar HP itu mencerminkan orisinalitas kepribadian telah kikis.

Apakah kita mengalami kesulitan yang amat sangat merangkai kalimat (yang dipuitis-puitiskan itu) sehingga satu-satunya kemampuan kita adalah copy paste kalimat orang lain? Untuk sedikit saja memeras inti sari hikmah menjelang idul fitri sudah sedemikian buntukah otak kita? Untuk sekedar menangkap, merasakan, lalu menuangkan getaran keindahan malam takbiran menjadi ungkapan yang sederhana saja, lebih sulit dibandingkan dengan memilih gaun untuk esok pagi?

Atau, kalau yang saya cemaskan itu tidak berlebihan, pertanyaan berikutnya adalah apakah budaya copy paste kalimat permohonan maaf merupakan cermin bahwa kita sedang dikurung oleh budaya materialisme, yang mengakibatkan perasaan makin tandus mengering dan tidak memiliki kepekaan estetis-ruhani? Atau persoalannya sepele, kita memang malas berpikir?

Teknologi komunikasi memang memudahkan hidup. Informasi mudah didapat. Kejadian detik ini menyebar bagai angin ke pelosok dunia. Namun hal itu kerap mengurung kita dalam ketidaksadaran sebagai pelaku komunikasi. Kita cenderung menjadi objek informasi. Kebiasaan copy paste ucapan hari raya menjadi fakta tak terbantahkan. Kita browsing situs-situs penyedia ucapan hari saya, pilih sana pilih sini, baca sana baca sini. Sreg, langsung copy, mencari nama teman dan sahabat, paste, kirim. Selesai.

Perilaku berkomunikasi kadang menjadi blunder bagi akurasi berita. Bahkan kita tidak sadar, kegemaran copy paste itu bagai menebar virus, yang bermata rantai, sambung menyambung dengan orang lain, membentuk opini publik yang dahsyat.

Kita kehilangan kompetensi dalam merumuskan masalah. Otak kita menjadi gelas kosong yang setiap hari diisi oleh ratusan berita dan informasi – tanpa daya kritis, daya obyektivitas, daya analisa yang jauh dari memadai. Kita hidup di alam kode, password, rumus-rumus analog, yang semua itu menjadi identitas orang modern. Adapun personalitas sebagai seseorang, sebagai individu, sebagai manusia ketlingsut, tertimbun kode-kode digital. Personalitas digantikan oleh identitas nomor PIN dan Nomor Induk Kependudukan (NIK).

Kita cukup dikenali – hanya – dengan mengajukan pertanyaan, “Nomor berapa?” atau, “Kamu sebagai apa?” – bukan, “Kamu siapa?” Kamu sebagai apa adalah kamu polisi, kamu dokter, kamu tukang becak, kamu tukang ngarit. Identitas sebatas fungsi sosial, yang diagungkan dan dijadikan standar utama nilai manusia.

Adapun, “Kamu siapa?”, lebih sulit menjawabnya karena siapa-mu bukan terutama ditunjukkan oleh kamu sebagai apa, melainkan dibuktikan oleh kesanggupan merawat harkat kemanusiaan. Sama sulitnya dengan menjawab pertanyaan, “Tunjukkan padaku, mana dirimu?” Kita menunjuk dada. Lho itu dada bukan kamu. Kita tunjuk kepala. Lho itu kepala bukan kamu.

Begitulah seterusnya, sampai kita sadar bahwa diri kita bukanlah wajah, kepala, dada, badan, dan kaki. Bukan pula pengamen, menteri, atau presiden. Diri kita bukanlah “diri” anggota badan. Bukan pula tugas sosial atau profesi keseharian. Diri badan dan diri profesi merupakan penampakan untuk mengenal dan menjadi Diri yang sebenarnya. Diri kita adalah “Diri tak tampak” yang dikenali berkat konsistensi kita menjalani peran hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun