Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Peci dan Independensi Kebangsaan

19 Agustus 2016   15:26 Diperbarui: 20 Agustus 2016   09:55 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: liputan6.com

Siapa tidak kenal peci? Penutup kepala khas Indonesia itu dikenakan oleh hampir setiap lak-laki Indonesia, bahkan peci menjadi semacam alat pencitraan politik saat seseorang memajang fotonya di baliho berukuran besar. Rasanya kurang afdol apabila seorang pemimpin tampil tanpa peci di kepalanya.

Bagi kaum santri penutup kepala yang memiliki nama lain songkok atau kopiah itu setia menempel di kepala, menemani aktivitas mengaji, shalat berjamaah, dan kegiatan lain di luar pesantren. Santri tanpa peci seperti seorang pengendara motor tanpa helm. Peci dan sarung identik dengan kehidupan pesantren. Peci, sarung, pesantren menjadi identitas khas bangsa Indonesia.

Peci—terlepas dari bentuk ungkapan budaya dan akhlak seorang santri, merupakan simbol yang tidak hanya bersentuhan dengan kehidupan pesantren dan kyai. Bung Karno pernah menyatakan peci adalah identitas lelaki Indonesia

Bukan hanya dikenakan dalam acara resmi kenegaraan, Bung Karno terlihat gagah dan tampan ketika tampil di berbagai kunjungan internasional. Pidato di gedung PBB saat menyampaikan rumusan Pancasila dan mendapat sambutan luar biasa, Bung Karno tampil memukau dengan mengenakan peci.

Peci memasuki istana negara. Kecuali Megawati semua presiden RI berfoto resmi dengan kepala mengenakan peci. Jajaran kabinet presiden berfoto dengan kepala tertutup peci. Sedemikian sakral dan elegankah sebuah peci yang menutup kepala seseorang? Mengapa peci menjadi bermakna bagi lelaki Indonesia, bagi sejarah perjuangan bangsa, bagi masa depan identitas kebangsaan kita?

Pemuda belia berusia 20 tahun itu tegang. Ia harus menghadiri rapat Jong Java di Surabaya, Juni 1921. Perutnya mulas. Pemuda belia menantang dirinya.

“Kamu pengekor atau pemimpin?” ia bertanya kepada diri sendiri.

“Aku seorang pemimpin,” jawab dirinya, tegas.

“Kalau begitu buktikan! Tarik napas, pakai pecimu, dan masuklah ke ruang rapat. Sekarang!”

Yang hadir dalam ruangan ternganga. Para intelektual yang menilai blangkon, peci, kopiah sarung adalah simbol kaum rendah tidak bisa berkata apa-apa.

“Kita memerlukan sebuah simbol dari kepribadian Indonesia. Peci yang memiliki sifat khas ini, mirip yang dipakai oleh para buruh bangsa Melayu, adalah asli milik rakyat kita. Menurutku, marilah kita tegakkan kepala kita dengan memakai peci ini sebagai lambang Indonesia Merdeka,” berwibawa pemuda belia melontarkan gagasan pikirannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun