Analisis yang baik dimulai dengan kesadaran bahwa setiap peristiwa sosial---termasuk kontroversi tayangan Trans7 yang dianggap melecehkan pesantren---tidak berdiri sendiri.
Peristiwa ini adalah cermin dari relasi sosial, struktur makna, dan ketegangan nilai yang hidup di masyarakat.
Mari kita bedah peristiwa ini bukan untuk memilah siapa benar siapa salah, melainkan untuk memurnikan cara kita memahami dan meresponsnya secara adil bijaksana.
Tulisan ini tidak berhenti pada reaksi emosional (marah, membela, atau mengecam), tetapi membongkar makna yang tersembunyi di balik peristiwa, mengurai struktur kuasa dan persepsi yang bekerja, lalu menata ulang pemahaman agar lahir transformasi sosial yang lebih cerdas dan berkeadaban.
Pertama-tama, kita perlu menelusuri bagaimana "pesantren" dikisahkan dalam tayangan itu.Â
Media arus utama seperti televisi bekerja dengan logika representasi visual---ia tidak menampilkan realitas, tetapi versi realitas yang disusun untuk menciptakan efek dramatik.
Dalam tayangan Trans7 tersebut, pesantren digambarkan dengan nuansa feodal: santri tunduk, kiai diagungkan, dan relasi sosial tampak timpang.
Narasi ini bekerja dalam oposisi biner: modern vs tradisional, bebas vs tunduk, egaliter vs feodal.
Bagaimana kita dapat membongkar oposisi ini? Apakah benar pesantren identik bahkan sama dengan (=) feodal dan modernitas adalah (ke)bebas(an)?
Bukankah dalam tradisi pesantren, penghormatan terhadap guru justru berakar pada nilai adab---yakni tata batin untuk menjaga ilmu agar tidak menjadi sekadar pengetahuan?