Ramadan datang lagi. Dan seperti biasa umat Muslim mengalami kegelisahan tahunan: bagaimana cara berbuka yang baik? Apa menu sahur yang ideal? Haruskah kita makan dengan sadar, menikmati setiap suapan, menghayati rasa? Atau cukup mengikuti arus: makan saja sekenyangnya, toh besok pagi harus puasa lagi?
Lalu muncul istilah mindful eating. Makan dengan penuh kesadaran. Makan dengan hikmat. Tidak berlebihan. Tidak terburu-buru. Tidak sekadar memuaskan lidah, tapi juga memahami respons tubuh.
Masalahnya, apakah kita benar-benar bisa mindful ketika berbuka puasa? Sementara di hadapan kita pasar kuliner all you can eat memanggil-manggil? Atau ketika sahur dapatkah kita mindful dengan mata setengah terpejam dan waktu hanya tersisa sepuluh menit sebelum azan Subuh?
Mindful eating ini konsep bagus, tapi jangan-jangan cuma jadi slogan. Semacam jargon modern yang diulang-ulang tapi tidak benar-benar dipahami.
Zaman dulu berbuka puasa itu sederhana. Kurma, air putih, lalu makan secukupnya. Nabi Muhammad SAW mengajarkan bahwa perut itu ada tiga ruang: sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, sepertiga lagi biarkan kosong.
Tapi lihat sekarang: berbuka justru menjadi ajang perlombaan. Ada festival kuliner Ramadan. Ada paket buka puasa dengan harga diskon. Ada iklan sirop yang membuat kita berpikir, "Sayang kalau tidak dimanfaatkan."
Lalu di mana spiritualitasnya?
Ini bukan soal boleh atau tidak makan enak. Silakan, tidak ada yang melarang. Tapi jangan sampai kita yang dikendalikan oleh makanan. Jangan sampai Ramadan yang harusnya jadi bulan "pengendalian diri" justru berubah jadi bulan "pelepasan diri."
Dan di sinilah letak paradoksnya. Kita diajari mindful eating, tapi iklan makanan terus membombardir kita. Media sosial penuh dengan food blogger yang menggoda kita untuk mencoba ini dan itu. Pada akhirnya kita bukan sekadar makan. Kita justru dimakan oleh rekayasa pasar.
Ada satu hal yang jarang dibahas: mindful eating itu, sadar atau tidak, adalah hak istimewa (privilege).