Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Jadi Penulis Pemula, Alangkah Nikmatnya

7 Juni 2020   06:18 Diperbarui: 7 Juni 2020   06:45 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: PEXELS.com/Suzy Hazelwood

Ada pesan masuk melalui Whatsapp. Datang dari seseorang wanita yang jauh tinggal di pelosok selatan kabupaten Malang. Saya tidak mengenalnya.

"Saya baru bertemu Pak Bub," tulisnya. "Saya pingin belajar menulis kepada Panjenengan."

Pak Bub adalah sahabat saya yang tinggal di pesisir selatan Kab. Malang. Zaman masih kuliah, Pak Bub senior saya. Ia aktif di kegiatan senat mahasiswa. Getol terlibat penerbitan majalah kampus.

Kini ia menepi dari hiruk-pikuk kota. Tinggal di dusun Bajulmati Kec. Gedangan Kab. Malang. Pak Bub ngopeni pendidikan di sana. Merintis Taman Baca Masyarakat (TBM), memberdayakan potensi pertanian warga hingga keliling ke dusun-dusun untuk menyapa anak-anak kecil.

Saya sudah menduga. Ini pasti "ulah" Pak Bub. Dan ini bukan yang pertama. Saya sering menerima pesan masuk yang ingin belajar menulis kepada saya.

"Saya juga masih belajar, Mbak," saya membalas permintaannya.

"Bapak kan sudah ahli menulis."

Gawat ini. Saya dibilang ahli menulis. Padahal, pencapaian saya yang paling jauh baru penulis pemula.

Ketika hal itu saya sampaikan, wanita yang bernama Fauziah mengirim balasan, "Bapak jangan merendah."

Jawaban saya memang klise. 

Bahwa saya adalah penulis pemula dan memang saya penulis pemula dan akan selalu jadi penulis pemula selalu dibilang merendah.

Mau merendah bagaimana lha wong saya memang penulis pemula karena tidak ada pilihan lain selain menjadi penulis pemula.

Ketika satu tulisan selesai saya segera melupakan tulisan itu agar tidak terpikir lagi bahwa saya pernah menulis. Saya akan mulai menulis lagi dari awal: menggali gagasan, menentukan tema, memilih kalimat paragraf pembuka dan seterusnya.

Itulah pekerjaan saya sebagai penulis pemula: memulai menulis dari awal seakan-akan belum  menghasilkan satu tulisan pun.

Motivasi menulis pun terbentuk secara alami karena saya merasa belum menghasilkan karya tulis. Menggali motivasi dari dalam---merasa belum berbuat apa-apa, belum menulis apa-apa, belum menghasilkan karya apa-apa---makin mendorong saya, atau kalau Anda sepakat dengan pandangan ini, ya kita akan semakin giat berkarya.

Ini bukan soal kita mau produktif apa tidak. Juga bukan trik psikologi agar rajin menulis.

Ini semua tentang bagaimana kita memandang diri sendiri. Namanya dialektika paradoks. Istilah ini karangan saya sendiri. Mohon maaf jika saya ngaco.

Bagaimana dialektika paradoks itu bekerja dalam kegiatan menulis? 

Ketika saya merasa belum pernah berkarya, maka saya jadi malu dengan diri sendiri. Sudah dikasih Tuhan akal, jantung, darah, mata dan semua fasilitas kehidupan tidak dimanfaatkan sama sekali.

Maka, saya menebus hutang-hutang itu melalui menulis. Semakin merasa berhutang kepada Tuhan karena belum menghasilkan karya apapun semakin rajin saya berkarya.

Setelah menyelesaikan satu karya, segera evaluasi, dan lupakan bahwa kita telah berkarya. Hasil evaluasinya digunakan untuk memperbaiki proses berkarya selanjutnya.

Merasa menjadi manusia yang belum berguna sehingga kita pun menebusnya dengan karya-karya yang diupayakan bermanfaat, akan lebih baik daripada merasa telah berkarya, sudah menulis, berhasil menjadi penulis profesional lalu merasa hebat dan pintar.

Ojo rumongso iso, nanging iso rumongso. Jangan merasa bisa tapi bisa merasa, demikian nasihat orang Jawa.

Jika demikian bagaimana kita bisa menjadi ahli di bidang yang kita tekuni? 

Kata "ahli" berasal dari bahasa Arab. Bahasa Indonesianya "tuan rumah". Menjadi "ahli menulis" artinya menjadi tuan rumah kegiatan menulis. Kita adalah tuan rumah bagi kompetensi menulis yang terus menerus diasah itu. 

Sedangkan tiada seorang pun yang benar-benar ahli di bidangnya. Di atas langit ada langit. Ahlinya ahli belum benar-benar ahli karena di atas ahlinya ahli masih ada yang lebih ahli dari ahlinya ahli.

Jadi, parameter ahli ini semacam cakrawala yang membentang di depan mata. Ia ada namun tidak benar-benar ada. Dikatakan tidak ada namun ia ada.

Untuk itu, kita tidak berhenti pada tahapan menjadi ahli menurut standar kompetensi menulis. Kendati kompetensi itu penting, namun mari beranjak menuju tahap berikutnya. Apakah kompetensi menulis kita bermanfaat untuk sesama?

Asas manfaat ini akan membebaskan kita dari "jeratan" standarisasi kompetensi menulis yang berlebihan. Menulislah sesuai bidang kompetensi kita, namun setelah itu mari ditakar nilai manfaatnya untuk orang lain.

Sayangnya, apa yang saya tulis ini masih jauh dari kategori ahli dan nihil manfaat sama sekali. Saya mohon maaf.

Apa yang saya tulis ini upaya kecil dan sederhana membayar hutang-hutang kepada Tuhan yang bermurah hati meminjami saya semua fasilitas hidup.

Sungguh nikmat menjadi penulis pemula, menapaki proses demi proses, setia dalam rangkulan ruang dan aliran waktu, hingga Tuhan sendiri yang menjadi Juri bagi segala upaya ini.[]

Jagalan, 060620

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun