Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Persoalan SARA dan Kewaspadaan Berpikir "Jangan-jangan"

3 Juni 2020   20:42 Diperbarui: 4 Juni 2020   17:27 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: KOMPAS.com/Thinkstock

Apabila SARA adalah akronim dari Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan, maka pada konteks apa, bagaimana, mengapa seseorang dikatakan melanggar SARA?

Suku, ras, agama dan antargolongan itu fakta personalitas yang laten dimiliki setiap manusia ataukah semacam bedil yang moncongnya diarahkan sesuka hati?

Itu pertanyaan pembuka. Jawabannya mari dilacak bersama.

Saya tidak pernah request kepada Tuhan lahir di tanah Jawa, tepatnya di Jawa Timur, kabupaten Jombang. Tahu-tahu lahir "begitu saja" melalui rahim ibu saya.

Ya, lahir begitu saja, karena selama proses kelahiran berlangsung, bahkan jauh sebelum kaki saya menapak di tanah, saya tidak memiliki saham atas proses kelahiran hingga keberadaan saya di dunia. Semua sahamnya milik Tuhan.

Kapan dan di mana kita lahir, dari rahim siapa kita dilahirkan, tidak semata-mata karena pilihan, inisiatif atau cita-cita kita.

Artinya, saya diizinkan---bahkan pada konteks yang lain diperintah oleh Tuhan menjadi manusia Jawa, sebagaimana saudara saya yang lain juga diizinkan Tuhan jadi manusia Madura, Badui, Batak, Arab, Cina, dan seterusnya.

Genealogi, dengan demikian, tidak terutama terkait dengan garis keturunan, melainkan personalitas seseorang yang mengejawantah pada simbol sosial budaya manusia. 

Adapun personalitas itu sendiri merupakan "hasil kerja" dari takdir yang digariskan Tuhan.

Persoalannya adalah manakala personalitas anugerah Tuhan dijadikan instrumen identitas budaya, sosial, politik, dan agama untuk konspirasi atau agenda kepentingan. Di sinilah persoalan SARA bermula.

Aslinya, personalitas "orang yang kulitnya putih" tidak menimbulkan masalah apapun bagi "orang yang kulitnya hitam". Persoalan akan timbul manakala kulit yang hitam atau putih dijadikan identitas kepentingan untuk saling menindas.

Frasa "orang yang kulitnya putih" silakan diganti, misalnya suku A, ras B, agama C atau golongan D. Lalu frase "orang yang kulitnya hitam" silakan juga diganti suku, ras, agama, atau golongan yang selama di-frame sebagai "lawan".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun