Bagaimana hasilnya? Saya tidak tahu. Sebagaimana saya sendiri juga tidak pernah tahu "takdir" dari huruf, kata, kalimat, paragraf selama proses menulis. Yang bisa kita lakukan adalah merancang "takdir" tulisan.
Sedangkan takdir yang sebenarnya dari tulisan tersebut akan mengalami dinamika dan dialektika tanpa seorang pun sanggup menghentikannya kecuali Tuhan Sang Pemilik Takdir.
Menulis tak ubahnya mengarungi keabadian!
"Jadi, menulislah secara jujur dan autentik!"
Inilah wacana pengalaman di balik pengalaman yang tengah ditempuh anak-anak melalui menulis cerita di atas. Tulisan hasil karya anak-anak bukan sekadar kumpulan kata, kalimat dan paragraf. Di sana kita menemukan konteks yang berwarna-warni.
Bahkan kita bisa melakukan analisis wacana untuk menyingkap konteks psikologis, sosiologis, karakter, isi pesan, motivasi. Selain menjadi dokumen keabadian, tulisan anak-anak merupakan gudang ilmu, minimal bagi saya dan anak-anak, hingga beberapa tahun berikutnya tulisan itu menjadi penggalan potret diri.
Sedemikian pentingkah menulis secara jujur dan autentik? Tentu saja kejujuran dan sikap autentik merupakan fondasi yang musti terus dibangun. Apalagi konteks tulisan anak-anak terkait dengan tema meminta maaf.
Bukankah meminta maaf juga harus didasari sikap yang jujur dan autentik?
Menemani Anak Berpikir Imajinatif-Asosiatif
Selalu ada "What" di balik What. Fakta yang hendak diungkap oleh What tidak selalu tampak sebagai "What". Ia bisa bersembunyi di balik What---bahkan persembunyian itu tersusun dari banyak sekali lapisan, spektrum, gradasi, dan tingkatan. Kita menggali, menyelami, merasakan, menghayati "What" di balik What secara jujur dan autentik. Â Â
Kalau "What" itu diganti dengan fakta "Saya meminta maaf", maka di balik ucapan atau tulisan itu perlu ditemukan ada "What" apa saja di sana.Â
Kalau tidak berbekal kejujuran dan sikap autentik, bekal apa lagi yang bisa kita bawa saat menyelami samudra dalam diri?
Dan mari kita mencermati tulisan anak-anak yang polos itu. Mereka bahkan menulis satu kesalahan "kecil" yang pernah dikerjakan kepada temannya. Mengapa kata "kecil" memakai tanda kutip akan saya sampaikan nanti.
Sholah, misalnya, ia pernah menyembunyikan sandal milik Lihan. Yang menarik manakala Sholah menjelaskan "Why" (mengapa) ia melakukan hal itu. Iseng saja, tulisnya. Ia sekadar main-main alias tidak berniat mencelakakan apalagi ingin mencuri sandal Lihan.