Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Persoalan Sampah adalah Persoalan Mindset Berpikir

4 Oktober 2019   22:48 Diperbarui: 6 Oktober 2019   15:45 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Musim kemarau panjang seperti sekarang ini menjadi siksaan tersendiri bagi tetangga saya. Pasalnya, mereka harus menerima "takdir" mencium bau tak sedap. Sungai dekat rumah mereka mengirim aroma tidak enak.

Sungai menjadi selokan raksasa. Air buangan rumah tangga dan limbah pabrik gula menggenang, seperti enggan mengalir. Belum lagi tanaman kangkung dan bermacam-macam sampah, didominasi oleh sampah plastik, membuat mata nanar saat memandangnya. 

Sungguh, ini pemandangan yang kontras dibandingkan zaman saya kecil. Sungai, atau kami sering menyebut kali, menjadi sumber kebahagiaan. Sejuta kenangan masa kecil tersimpan di sepanjang bantaran sungai. 

Sebut saja kenangan adus kali, mancing, bermain getek, mencari belut. Semua jenis permainan air nyaris tak ada yang terlewatkan. 

Kini, kaliku telah berubah, gara-gara dipenui sampah. Ah, benarkah sampah menjadi satu-satunya pihak tertuduh? Ataukah sampah adalah keniscayaan yang menyertai kemajuan kebudayaan kita? 

Kita mengantisipasi keniscayaan itu dengan memasang tulisan: Jangan buang sampah sembarangan! Sungai bukan tempat sampah. Lantas, gerangan apakah makhluk bernama sampah sehingga ia tidak boleh dibuang sembarangan?

Apakah tidak sebaiknya kita meninjau ulang etimologi, epistemologi, terminologi serta sejumlah mata pandang filsafat lainnya untuk melihat kembali sampah? 

Padahal, persoalan sampah bukan sekadar plastik yang menumpuk, bangkai yang membusuk, limbah pabrik yang meracuni. Ada sampah atau tidak sesungguhnya ditentukan oleh mindset kita. 

Apabila sejak awal pikiran menyatakan barang yang tidak terpakai harus dibuang, saat itu juga terciptalah kebudayaan yang ditimbuni sampah. 

Mari kita teliti bersama. Adakah satu saja makhluk Tuhan yang tidak berguna, yang tidak memiliki manfaat, yang tidak berfaedah? 

Semua ciptaan Tuhan, serta apapun yang dihasilkan oleh kebudayaan manusia, mulai keringat, air kencing, kotoran buang air besar hingga partikel paling kecil di alam semesta, memiliki fungsi, peran dan guna. 

Dahulu, buah Mengkudu (Morinda citrifolia) dibiarkan jatuh ke tanah bahkan sampai membusuk. Belum ada yang tahu manfaatnya. Sekarang, buah Pace, nama lain dari Mengkudu dicari orang. Sejumlah manfaat buah Mengkudu menjadi solusi bagi pengobatan alternatif.

Sebagai makhluk yang memiliki keterbatasan manusia belum sanggup menemukan, mengolah, memanfaatkan setiap benda di sekitarnya. Benda-benda itu lantas dibuang. Jadilah ia sampah. 

Konsep daur ulang sebagai salah satu solusi mengatasi sampah belum menjadi kesadaran komunal. Daur ulang sampah masih diterapkan pada lingkungan yang terbatas, seperti komunitas peduli lingkungan, tapi belum menjadi gerakan apalagi kesadaran sosial. 

Itu pun kesadaran daur ulang masih memperlakukan sampah sebagai sampah. Artinya, eksistensi sampah tetap diakui sehingga ia perlu didaur ulang. Ajakan "Buanglah Sampah pada Tempatnya!" juga perlu ditinjau ulang karena ia masih "sampah-oriented". 

Kata "buang" dan "sampah" adalah dua pasangan yang tak terpisahkan. Begitu ada kata "buang", yang tergambar adalah sampah. Begitu menjumpai "sampah" tidak ada solusi lain kecuali (harus) membuangnya. 

Orang yang terbuang dan disisihkan namanya sampah masyarakat. Pantas saja Tempat Pembuangan Akhir (TPA) lama-lama menjadi gunung sampah. 

Bagaimana seandainya kita membebaskan mindset kita dari konsep sampah? Mindset yang bebas sampah akan meletakkan barang tidak terpakai pada tempatnya. Dia tidak akan membuangnya karena barang-barang itu bisa didaur ulang. 

Alhasil, persoalan sampah adalah persoalan mindset berpikir. Dimulai dari skala individual lalu terakumulasi menjadi perilaku komunal. 

Tantangannya adalah bagaimana menggeser cara berpikir individual hingga sosial sehingga sampah bukan lagi sampah. 

Tidak mudah memang. Orang-orang pasti bertanya-tanya saat di pinggir kali membaca tulisan: Letakkan Barang Bekas pada Tempatnya! []

Jagalan 041019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun