Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

"Memaklumi" Rencana DPR Merevisi UU KPK

9 September 2019   21:05 Diperbarui: 11 September 2019   04:15 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menutup logo KPK di kantornya dengan kain hitam. (Foto: KOMPAS/HERU SRI KUMORO)

Setiap kali membaca akronim KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), benak saya selalu mengejanya sebagai KKPK. Ini Mizan punya produk: Kecil-kecil Punya Karya. Lantas, apa hubungan antara dua akronim itu? Saya sering terpeleset membacanya. Itu saja. 

Nyaris setiap hari berita dan tayangan mengenai lembaga anti suap itu mampir di depan mata. Goro-goro-nya pun jelas. Ada upaya  sistematis pelemahan pemberantasan korupsi di Indonesia. Tak ayal, publik pun bereaksi menolak upaya pelemahan tersebut.

Kabar terakhir yang saya baca, antropolog dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia menolak Revisi UU KKPK, eh, KPK. Alasannya gamblang. Selain revisi tersebut akan melemahkan pemberantasan korupsi, lama-lama korupsi di Indonesia bisa membudaya.

Benarkan korupsi di Indonesia belum membudaya? Jangan-jangan, praktik korupsi justru menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia?

Konon, praktik korupsi setua sejarah manusia. Dinasti pertama Mesir (3.100-2.700 SM) dicatat sebagai pemerintahan yang mendokumentasi korupsi.

Dalam cerita mitologi Cina, Dewa Dapur sebagai pengawas perilaku setiap anggota keluarga, sering "disogok" oleh penghuni rumah tangga. Anggota keluarga menutup mulut Dewa Dapur dengan kue dan madu. 

Harapannya, Dewa Dapur akan melaporkan hal yang baik-baik saja kepada Kaisar Giok, Sang Penguasa Surga.

Kita tidak tengah melegitimasi tindakan korupsi. Bagaimana pun segala bentuk korupsi adalah tindakan yang mencederai akal sehat dan menghina martabat kemanusiaan. 

Sayangnya, meski manusia telah tiba di peradaban yang digawangi teknologi digital, tindak korupsi tidak berkurang.  Kerakusan pun semakin berkembang.

Sebagaimana kejahatan yang lain, korupsi tidak akan sirna di muka bumi. Koruptor dan para penyuap akan melakukan segala cara untuk melancarkan aksinya. 

Bank Dunia memperkirakan praktik penyuapan mencapai US$1,5 triliun atau sekitar Rp. 22.000 triliun setiap tahun.

Korupsi bukan hanya melanda Indonesia. Banyak negara di dunia tengah menghadapi problem yang sama. Transparansi Internasional melaporkan, pada 2017, secara global 1 dari 4 orang menyuap dalam 12 bulan terakhir untuk mengakses layanan publik. 

Yang mengejutkan, hampir 57% orang dari seluruh dunia merasa bahwa pemerintahannya melawan korupsi secara buruk.

Sekilas melihat kenyataan tersebut, kita bisa "memaklumi" rencana DPR untuk merevisi UU KPK. Korupsi telah menjadi gaya hidup yang berusaha dilanggengkan. Meski hati nurani kita kerap menolaknya, korupsi dan suap menjadi kewajaran yang diam-diam diamini.

Pada perspektif  yang lain, kita patut mewaspadai upaya merevisi UU KPK merupakan "suara paling jujur" bahwa korupsi dan suap telah menjadi budaya. 

Karena itu, ia perlu dilegalkan melalui Undang-Undang. Siapa saja silakan mencuri---bahkan kalau perlu---melawan institusi yang menghalangi pengejawantahan budaya nilep dan nyogok itu.

Upaya pelemahan ini bukan berlangsung secara sistematis saja. Drama pemilihan calon komisioner KPK juga menyimpan bara dan konflik kepentingan. 

Namun harap diingat, setiap adegan yang tampil di depan publik tak ubahnya kentut yang baunya menyengat. Adapun siapa yang kentut, apa yang dimakan, berapa hari tidak buang air besar, sehingga demikian tak sedap baunya, menjadi perkara gaib.  

Betapa sulit mengestimasi besar dan skala korupsi, suap- menyuap, bahkan di lingkungan yang paling dekat dengan kita sekalipun. Baik penyuap maupun yang disuap saling mengamankan kepentingan mereka serta memastikan kegiatan ini aman.

Apa yang bisa kita lakukan? Korupsi tidak akan bisa dihilangkan. Budaya buruk ini akan menyertai perjalanan hidup manusia. 

Ini bukan pesimisme. Justru dari kenyataan tersebut kita meneguhkan tekad, merapatkan barisan, menyusun strategi kebudayaan, minimal menghambat laju pertumbuhannya. Syukur-syukur bisa menekan hingga mendekati titik nol.

Mulainya dari mana? Dari keluarga kita masing-masing. Keluarga dan anak-anak kita adalah para penegak KKPK: Kecil-kecil Pantang Korupsi.[]

Jagalan 90919

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun