Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bahagia, di Mana Engkau Berada?

30 Agustus 2019   10:28 Diperbarui: 30 Agustus 2019   12:58 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Happy - Sumber: Unsplash.com Hybrid @artbyhybrid

Tantangannya sederhana saja. Silakan menyelesaikan soal penjumlahan di bawah angka 10, misalnya, 1+1, 2+5, 6+3. Pasti mudah, bukan? Namun, soal hitungan ini dikerjakan di kuburan yang angker pada jam dua dini hari. Bagaimana?

Soal hitungan yang awalnya mudah tiba-tiba menjadi rumit. Fokus kita terbelah antara menyelesaikan soal dan mengatasi perasaan takut. Bagi seorang pemberani hal itu tidak jadi masalah. Ia bisa mengatasi tekanan rasa takut. Bagaimana dengan seorang penakut?

Ia bahkan memilih tidak mengambil risiko. Bukan karena tidak bisa berhitung. Rasa takut akan bertemu kuntilanak, pocong, hantu gundhul pringis, dan wajah-wajah menyeramkan lainnya, benar-benar menghantui pikirannya.

Bagi seorang penakut hal ini bukan sekadar problem kognitif. Ia harus mampu menguasai emosi dan perasaan negatif. Sedangkan pikiran yang positif belum berhasil meyakinkan dirinya.

Pertanyaannya, mana yang lebih penting, memiliki emosi dan pikiran positif atau cukup salah satunya? Pikiran mengendalikan emosi, atau pikiran dikendalikan emosi? Atau keduanya saling mengendalikan?

Mengejar Bahagia
Lebih luas lagi, apakah kebahagiaan itu hasil kerja kognitif atau hasil kerja afektif? Mengapa semakin kita mengejar bahagia semakin ia lari menjauh?

Pertanyaan tersebut menggerakkan industri kebahagiaan hingga kini. Diperkirakan, untuk mencapai kebahagiaan dan pikiran positif nilai yang dikeluarkan mencapai Rp. 153 triliun per tahun. Apakah kebahagiaan dan pikiran positif sedemikian mahal harganya?

Selama dua dekade terakhir buku-buku self-help membanjiri rak toko buku. Kita seperti tidak berdaya sekadar untuk berbahagia. Bermacam-macam pandangan mulai dari filosofi kebahagiaan, tips, trik hingga kiat praktis keseharian memandu kita. Alih-alih menemukan kebahagiaan, kita malah diprovokasi oleh saran bagaimana "seharusnya" meraih bahagia.

Tidak heran, kita seperti membeli mimpi. Bahagia hanya mampir sekejap. Sesaat kemudian kita kembali berhadapan dengan dunia nyata yang bising dan sumpek.

Apa sebab? Industri kebahagiaan berhasil menggiring kita menjadi manusia "seharusnya". "Orang-orang mungkin menetapkan standar yang sangat tinggi untuk kebahagiaan mereka akibat buku-buku ini---mereka mungkin berpikir bahwa mereka seharusnya bahagia setiap waktu, atau sangat bahagia, dan itu bisa membuat orang berakhir kecewa pada diri mereka sendiri, merasa gagal---dan ujung-ujungnya malah menghambat diri sendiri," ujar Iris Mauss, psikolog dari Universitas California, Berkeley.

Menurut penyair Brasil Vinicius de Moraes, kebahagiaan adalah bulu yang melayang di udara. Ia terbang cepat, tapi tidak lama. Tips "seharusnya" itu mengajarkan kiat supaya bulu selalu melayang.

Padahal, jangan-jangan, kebahagiaan yang berkelanjutan itu gagasan abstrak. Ia rekaan manusia yang belum mengenal dirinya secara mendalam. Sebenarnya, seberapa tipis jarak antara bahagia dan rasa puas?

Antara Bahagia dan Nrima Ing Pandum
Menurut riset dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Kota Serang dan Kabupaten Pandeglang, Banten dengan Kota Yogyakarta dan Kabupaten Gunung Kidul di Yogyakarta pada 2015 sampai 2017, ditemukan faktor non-ekonomi penyebab kemiskinan.

Mayoritas responden berasumsi bahwa kemiskinan yang mereka terima adalah takdir Tuhan yang tidak bisa ditolak. Perilaku semacam ini lazim disebut sebagai "nrimo" dalam budaya Jawa, demikian perilaku psikologi masyarakat hasil temuan riset.

Takdir Tuhan memang tidak bisa ditolak. Namun, sikap nrimo justru melapangkan kesadaran pelakunya dari tekanan hidup. Ajaran dalam budaya Jawa ini tidak lantas diartikan sebagai sikap pasrah yang total, apalagi fatalisme, menerima takdir Tuhan.

Takdir seseorang hidup miskin sesungguhnya bisa ditawar dan diubah. Keputusan ini "belum final". Apalagi kita hidup di tengah kekayaan alam yang bagaikan cipratan air surga.

Faktor non-ekonomi tidak selalu terkait dengan filosofi hidup manusia Jawa saja. Telah terjadi kecurangan serta ketimpangan distribusi keadilan dan kesejahteraan. Kenyataan ini bukanlah takdir yang harus diterima secara pasrah. Kita tengah berhadapan dengan raksasa kekuasaan yang rakus.

Merobohkan raksasa itu pekerjaan orang besar. Adapun rakyat kecil harus tetap menanak nasi. Mereka menemukan rumus kebahagiaan mereka sendiri. Nrimo adalah bentuk olah kesadaran internal demi bertahan menjalani hidup secara bahagia. Tidak stres dan bentoyong.

Simulasinya sederhana. Kita bekerja dapat upah lima ratus ribu rupiah. Yang tidak nrimo akan menggerutu. Pikirannya berpijak pada harapan upah satu juta rupiah. Akibatnya, uang lima ratus ribu terasa sedikit. Uang satu juta pun tidak di tangan.

Sedangkan yang bersikap nrimo akan berpijak di kaki kenyataan lima ratus ribu rupiah. Ia legowo dan bersyukur. Orang Jawa menyebut nrima ing pandum. Hati jadi lapang, pikiran pun padang. Esok bekerja lagi dengan perasaan bahagia.

Jadi, di manakah letak sumber kebahagiaan berada?
Jagalan 300819

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun