Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Helen Sharman dan Filosofi Jawa

11 Desember 2017   11:45 Diperbarui: 11 Desember 2017   15:24 1302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.inovasee.com/

"Saya ingin mengatakan kepada semua orang betapa tidak pentingnya  benda-benda material bagi kita." Pernyataan ini bukan diucapkan oleh seorang sufi atau kyai. Bukan pula sikap fatalisme yang mentalak tiga  dunia dan seluruh isinya. Pernyataan yang cukup nyeleneh di tengah arah laju materialisme.

Dari ketinggian di atas bumi, nun jauh di sana, sensasi pengalaman itu mengendap, lalu lebih lanjut ia menekankan "Saya tidak mengatakan bahwa memiliki mobil sport merah yang mentereng itu salah, atau memiliki keluaran terbaru dari produk-produk keren itu keliru. Semua terpulang pada masing-masing orang, tidak apa-apa. Tapi sebenarnya kehidupan itu bukan cuma itu."

Adalah Helen Patricia Sharman, astronot wanita pertama Inggris yang mengunjungi stasiun ruang angkasa MIR. "Pemandangan dari ruang angkasa sangat spesial," tuturnya. "Dari jendela Anda bisa melihat kembali ke bumi dan melihat bintang-bintang di sekitar Anda. Apa yang saya lihat ketika menatap bumi dari kejauhan membuat saya sadar betapa pentingnya hubungan-hubungan antar manusia dalam kehidupan itu."

Bumi---satu butir debu di antara triliunan debu lainnya yang melayang di ruang semesta angkasa tanpa batas. Di tengah kehidupan angkasa raya itu, bumi memiliki kehidupan sendiri, dan manusia mengangkat dirinya sebagai aktor utama. Memainkan peran eksistensisme tanpa merasa risih menggusur tembok-tembok yang menghalangi ambisinya.

Pernyataan Sharman mengingatkan saya pada filosofi orang Jawa: mangan gak mangan kumpul. Makan tidak makan (yang penting) kumpul---filosofi yang entah ditunggangi virus kepentingan dari mana, dikonotasikan sebagai penyebab kemalasan dan kemiskinan. Filosofi tersebut, pelan namun pasti, telah menjadi fosil yang terkubur sampah modernisme.

Hubungan antar manusia yang diwataki oleh pola komunal digantikan pola individual. Orang takut tidak bisa makan sehingga harus memilih jalan dan caranya sendiri untuk memastikan jatah makan siangnya tidak diambil orang. Ia melepaskan diri dari ikatan tata nilai humanisme komunal. Ia mengabdi pada kepentingannya sendiri.

Adapun yang dimaksud makan bukan lagi makan sepiring nasi---sesuai ukuran kebutuhan alami manusia---apalagi makan ketika lapar dan berhenti sebelum kenyang. Manusia bisa makan apa saja: pasir, hasil laut, gunung, tambang dan bahkan menyantap "menu" aib kawan sendiri. Filosofi Jawa ditemukan dalam kenyataan yang terbalik: kumpul gak kumpul mangan. Kumpul tidak kumpul (yang penting) makan.

Kita tengah mengalami distorsi kecerdasan yang mengkhawatirkan. Di satu sisi laju informasi dan teknologi makin tidak terbendung. Digitalisasi ada di ujung jari. Di sisi yang lain kita menjadi sekumpulan beras kang den interi. Bergerak ke sana kemari, saling tabrak dan saling tubruk. Kita kehilangan orientasi kesadaran mana atas mana bawah, siapa hina siapa  mulia.

Jalan pintas untuk bisa "makan" dan menjadi kaya adalah korupsi. Peradaban korupsi bukan hanya mengancam budaya komunal yang tengah bersinergi untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik dan manusiawi. Ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi akan terus dipanen oleh generasi anak cucu mendatang.

"Korupsi menciptakan dan meningkatkan kemiskinan di samping melahirkan pengucilan. Di saat para pemegang kekuatan politik menikmati kehidupan yang mewah, jutaan orang Afrika menghadapi kekurangan kebutuhan dasar: makanan, minuman, pendidikan, kesehatan, perumahan, serta akses air bersih maupun sanitasi," ungkap Jose Ugaz, Pimpinan Transparency International.

Kalau kita menggunakan tahapan "evolusi" kesadaran: binatang-manusia-hamba-duta Tuhan---sesungguhnya kita masih berada pada kesadaran binatang. Kita melakoni hidup dengan cara mematikan dan membunuh orang lain. Kita menjadi mulia dengan cara menghinakan orang  lain. Kita menjadi kaya dengan cara memiskinkan orang lain. Kita menjadi kuat dengan cara melemahkan orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun