Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mendambakan Sekolah dengan Sentuhan Personal

2 September 2016   10:19 Diperbarui: 3 September 2016   01:36 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesempatan temu kangen dengan seorang sahabat lama berujung pada curhat tentang salah satu putranya yang tidak bisa diterima di lingkungan sekolah. Pasalnya, sang anak terlanjur dicap aneh karena kecenderungan minat, obsesi, perilaku, dan pilihan-pilihan sikap berpikirnya tidak umum.

Ini anak sejak kelas satu sekolah dasar tergila-gila dengan aktivitas menggambar. Kapan dan dimanapun ia selalu menggambar dan menggambar. Kegilaan pada gambar-menggambar itu terbawa hingga ia kelas enam semester akhir. Pulang sekolah kepada ibu selalu ditunjukkan pelajaran menggambar. Buku tulis penuh dengan goresan gambar serupa komik. Pusing kawan saya. Ujian Akhir Nasional di depan mata. Kalaupun ia berhasil lulus dari sekolah dasar, SMP mana yang bersedia menerima “anak aneh”?

Spontan pikiran saya bergerak ke home education. Lingkungan dan gaya pembelajaran yang relatif longgar lebih cocok kiranya untuk mewadahi kegilaan anak menggambar. Mengapa bukan sekolah formal?

Kasus pendidikan seperti itu bukan hanya dialami sahabat saya. Kisah klasik tentang anak-anak aneh dan bahkan dianggap idiot kerap kita dengar. Thomas Alfa Edison adalah salah satunya. Thomas kecil sempat berpikir bahwa dirinya benar-benar bodoh. Penyamarataan yang diberlakukan sekolah kepada setiap siswa memenjarakan Thomas. Ia bosan dengan cara belajar yang standar model sekolah. Penyamarataan dalam standarisasi proses pembelajaran membunuh siswa. Thomas adalah korban “pembunuhan” itu.

Bertahan tiga bulan saja di sekolah, Nancy sang ibu mengeluarkan Thomas dari sekolah. Inilah saat pendidikan yang sebenarnya, pembelajaran yang memperhatikan sentuhan personal dimulai. Gurunya? Siapa lagi kalau bukan sang Ibu.

Sikap yang diambil oleh Nancy senada dengan David Gilmour, seorang mantan kritikus film dan novelis asal Kanada. “Ketika anakmu tidak mau sekolah, kau menipu dirimu sendiri kalau kau pikir bisa memaksa mereka. Paksaan hanya akan mengubah anakmu jadi pembohong,” ujar David.

David pun mengizinkan putrinya, Jesee Gilmour keluar dari sekolah dengan satu syarat: setiap minggu Jesse harus menonton tiga film yang dipilihkan David lalu mendiskusikannya bersama. Aktivitas nonton film yang menjadi ajang pembelajaran itu berlangsung selama tiga tahun.

Kita dapat menyebut lebih banyak lagi nama-nama tokoh dan kasus serupa. Namun satu hal yang menjadi perhatian sekaligus keprihatinan kita: sekolah masih belum bersungguh-sungguh atau belum berminat atau belum memiliki perhatian ekstra atau belum peduli sepenuhnya pada sentuhan personal kepada siswa.

Sekolah menjadi benar-benar identik dengan penyamarataan. Serba terstandar, serba distandarkan, serba menstandarkan mozaik warna menjadi satu warna saja. Fokus persoalan kita sesungguhnya bukan pada sekolah, melainkan pada upaya penyamarataan itu. Sekolah tidak punya salah apa-apa karena justru kesalahan fatal terletak pada penyamarataan proses belajar. Isi kegiatan belajar yang diwadahi oleh sekolah itulah yang seharusnya dibenahi kembali.

Tidak berlebihan kiranya kita mendambakan sekolah yang mengakomodasi pandangan bahwa setiap individu itu unik. Sebuah layanan belajar yang bersifat personal seutuhnya terhadap siswa. Cukup riskan memperbaiki kualitas pembelajaran dengan cara mengesampingkan personalisasi individu.

Bukankah sekolah telah menyediakan pilihan kegiatan ekstrakurikuler? Menyediakan tidak sama dengan melayani. Sekolah memang menyediakan pilihan-pilihan itu sesuai “kemampuan” yang ada. Sekolah menyodorkan pilihan, siswa memilih. Kalau melayani, sekolah akan memenuhi kebutuhan ekstrakurikuler sesuai minat atau bakat siswa. Kendala biaya dan anggaran menjadi alasan utama yang sering terlontar untuk menjawab ketidakmungkinan itu.

Itu baru urusan kegiatan ekstra yang diidentikkan dengan bakat dan minat siswa di luar mata pelajaran. Lalu bagaimana pula dengan personalisasi belajar pada bidang mata pelajaran? Cukup banyak pernak-pernik, lipatan-lipatan, gejala-gejala, harapan-harapan baik teknis maupun non teknis per individu siswa yang dipangkas dan terabaikan dalam proses pembelajaran.

“Setiap murid adalah individu unik dengan harapan, bakat, kecemasan, gairah, dan aspirasi masing-masing. Menghadapi mereka sebagai individu adalah kunci peningkatan pencapaian,” ungkap Ken Robinson dalam buku Creative School.

Lebih jauh lagi, apakah proses pembelajaran di sekolah telah memperhatikan, mempertimbangkan, mengakomodasi, melejitkan, memberangkatkan diri dari personalisasi fitrah siswa sebagai manusia? Mengapa kegiatan belajar terkesan hanya “begitu-begitu” saja dan berlangsung “begitu-begitu” saja? Sedangkan setiap individu bukan sekadar makhluk yang hanya “begitu-begitu” saja? Mengutip ungkapan Chris Weller, guru cukup melayani “mereka yang ada di tengah-tengah”, ya mereka yang “begitu-begitu” saja itu?

Personalisasi menjadi kunci perbaikan mutu pendidikan. Selain kenyataan filosofis bahwa setiap individu itu unik bersama keunikan masing-masing,rata-rata mata pelajaran membaca, bahasa, matematika, sains, dan ilmu-ilmu sosial siswa sekolah formal tidak lebih tinggi daripada mereka yang menerima sentuhan belajar secara personal di sekolah rumah.

California Achievement Test, Iowa Tests of Basic Skills, dan Stanford Achievement Test pada tahun akademik 2007/2008 yang diikuti siswa sekolah umum rata-rata 50, sedangkan sekolah rumah yang mengembangkan sentuhan personal mencapai rata-rata 89.

Laporan yang dirilis pada tahun 2009 itu bukan menunjukkan prestasi akademik semata. Lebih jauh lagi, pembelajaran yang mengedepankan personalisasi siswa—seperti yang ditunjukkan oleh pendidikan rumah misalnya—layak dijadikan pilihan. Bagi kawan-kawan pemerhati, penggiat, dan pelaku pendidikan rumah, sekolah bukan satu-satunya wadah belajar. Apalagi budaya, adat istiadat, dan kekayaan alam yang beraneka ragam di bumi nusantara ini tidak mungkin dikemas dalam satu ruangan kelas yang terbatas.

Lagi-lagi personalisasi yang memanfaatkan keanekaragamaan itu “bertabrakan” dengan standarisasi yang ditetapkan pemerintah. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 129 tahun 2014 menyatakan bahwa sekolah rumah mesti mengacu kepada kurikulum nasional dan para peserta berhak mendapatkan ijazah resmi serta melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi, termasuk lembaga-lembaga pendidikan formal, setelah lulus dari ujian kesetaraan yang distandarisasi oleh negara (Paket A setara SD, B setara SMP, dan C setara SMA).

Atau pendidikan di negeri ini diarsiteki oleh stereotip-stereotip yang saling bertabrakan? []

Jagalan 020916

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun