Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kekayaan Penulis di Tengah Gawat Darurat Pembajakan Buku

27 Agustus 2016   15:28 Diperbarui: 27 Agustus 2016   20:48 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: https://jurnalsipeneliti.wordpress.com/

“Di Indonesia apa yang tidak darurat?” gerutu seorang kawan.

“Memang kita sedang dikepung suasana serbadarurat,” balas saya.

“Coba kamu pikir, semua serbadarurat. Darurat pendidikan, darurat narkoba, darurat kenakalan remaja. Barusan saya baca sebuah laporan menyatakan Indonesia darurat pembajakan buku!”

“Wah asyik itu!”

“Asyik gundulmu! Darurat kok asyik!”

“Yang serbadarurat itu mengasyikkan sekaligus menguntungkan pihak yang ‘bermain’ di sana. Asyik kan?”

Kawan saya pasti mengetahui sedarurat-daruratnya pembajakan buku di Indonesia tetap kalah darurat dibandingkan Peru. Itu pun masih perlu sebuah pertanyaan untuk memastikan, apakah pemerintah Peru benar-benar gelisah atas situasi “darurat” pembajakan buku itu?

Konon para pembajak buku di Peru mempekerjakan karyawan dengan jumlah lebih banyak dari penerbit buku legal. Keuntungan yang berhasil diraup tidak kurang sebesar 52 juta dolar AS. Buku “terbitan” para pembajak itu selain dinikmati oleh rakyat Peru juga meladeni sejumlah negara Amerika Latin lainnya.

Publishers Weekly pernah merilis data pada 2005, bisnis buku bajakan di seluruh dunia mencapai nilai 15,8 miliar dolar AS. Nilai bisnis yang akan terus bertambah pada tahun mendatang karena bisnis buku bajakan bukan bisnis musiman. Rusia dan Cina masih menjadi pelaku terbesar bisnis yang menawarkan “harga buku ekonomis”, yang membuat penulis menangis. Andrea Hirata adalah salah satu penulis yang pernah “menangis”. Penulis best seller novel Laskar Pelangi itu mengaku sempat teriris hatinya saat dua ribu novel yang ditandatangani ternyata bajakan.

30 juta dolar AS atau sekitar 397 miliar rupiah dan bahkan nilai keuntungan lebih besar lagi telah diraup oleh para pembajak buku di Indonesia pada 2006. Kita tentu tidak asing dengan kamus karya John M. Echols, buku perkuliahan bidang sains, nover populer karya Andrea Hirata dan Habiburrahman El Shirazy adalah beberapa buku yang mengundang nafsu para pembajak.

Apa upaya pemerintah melindungi karya intelektual para penulis itu? Sejak tahun 1913 Undang-Undang Hak Cipta warisan Belanda telah ditetapkan. Tahun 1982 pemerintah menggantinya dengan UU Hak Cipta No. 6 tahun 1982 yang menyatakan tindakan pelanggaran hak cipta termasuk delik aduan. Sankisnya cukup ringan, yaitu kurungan maksimal 9 bulan atau denda paling tinggi Rp. 5.000.000.

Sanksi yang sama sekali tidak membuat keder. Pembajakan buku bagai hantu bergentayangan. UU Hak Cipta tahun 1982 disempurnakan lagi menjadi UU No. 7 tahun 1987. Penegak hukum diberi kewenangan bertindak tanpa harus menunggu pengaduan dari penerbit atau pihak yang menjadi korban pembajakan buku. Sanksinya ditingkatkan menjadi hukuman 7 tahun penjara atau denda Rp. 100.000.000.

Pada 24 April 2015, Anang Hermansyah secara resmi mengusulkan pembentukan Kaukus Anti Pembajakan dan Penegakan Hak Cipta DPR. Anang menegaskan, Kaukus Anti Pembajakan dan Penegakan Hak Cipta DPR RI dimaksudkan secara khusus untuk pengawasan terhadap pelaksanaan UU No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Dua persoalan tersebut menjadi titik temu dan pengikat anggota DPR dengan menggulirkan kaukus ini di parlemen.

Bagaimana seorang penulis menyikapi itu semua?

Penulis Memang Orang yang Kaya

Seperti mengejar bayangan kita sendiri, itulah perumpamaan bagi upaya memberantas pembajakan buku. Bukan kita berkecil hati atau pesimis terhadap setiap langka penegakan hukum. Namun, hal itu sama sekali bukan alasan pembenaran bagi seorang penulis untuk tidak berkarya. Setiap pekerjaan menanggung risiko, dan risiko seorang penulis adalah pembajakan karya tulis, walaupun atas nama dan demi tujuan apa pun membajak karya orang lain adalah sebuah kenistaan yang nyata.

Justru dengan hadirnya setiap risiko pada pekerjaan apa pun, penulis adalah sosok kaya raya dalam pengertian yang substansial. Kaya pengalaman, kaya ide, kaya kreativitas, kaya semangat—bagaikan sumur yang semakin sering ditimba airnya akan semakin jernih dan berlimpah.

Kaya dengan uang berlimpah? Mari kita berhitung sejenak. Dalam sebuah laporan, untuk meraup kekayaan dari hasil penjualan buku, penulis harus menghasilkan sedikitnya 75 buku dalam setahun. Ia memerlukan waktu sepuluh jam sehari untuk menulis 14 kata setiap menit.

Kerja rodi semacam itu belum tentu juga membawa penulis tiba di garis minimal agar disebut “kaya”. Menurut pembayaran global VISA dalam survei 2013 batasan minimun orang kaya di Indonesia adalah individu berpenghasilan 12,5 juta rupiah per bulan atau 150 juta rupiah per tahun. Katakanlah penulis menjual putus bukunya kepada penerbit seharga 2 juta rupiah, maka ia harus menuntaskan 6 buku dalam sebulan. Itu baru batas minimal uang 12 juta rupiah yang berhasil dicapai penulis agar mendekati limit penghasilan orang kaya.

Waktu sepuluh jam sehari untuk menghasilkan enam buku dalam sebulan dikerjakan tanpa menggaruk punggung, mulet, angop—ia duduk tegak mengetik kata demi kata agar menghasilkan 840 kata selama satu jam. Siapa sanggup?

Alhasil, kekayaan seorang penulis tidak semata diukur dari penghasilan rupiah yang berhasil diraupnya. Ketika seorang pembaca menemukan momen “wow” atau “ooo…”, atau “iya…ya”, atau “hiks, sedih rasanya…”, atau pembaca berhasil memantik ide dan gagasan baru dari aktivitas membacanya, yang menurut Hernowo berkat kepiawaian penulis menyajikan buku yang bergizi—semua itu adalah kekayaan tak ternilai bagi seorang penulis.

Audiens seorang penulis bukanlah kepada para pembacanya semata. Ketika jari-jari mengetik kata per kata, kalimat per kalimat, menuangkan gagasan pikiran dan imajinasi sesungguhnya penulis sedang beraudiensi dengan Pemilik Kehidupan. Dihadapan Pemilik Kehidupan itu penulis hadir telanjang dengan segenap kejujuran dan kepolosan bagai bocah.

Kesadaran substansial yang cukup paradoks: pembajak buku beraudiensi dengan makhluk materialisme, penulis beraudiensi dengan Pemilik Kehidupan.

Jadi, tetaplah menulis, Kawan. []

Jagalan 270816

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun