Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

orang-orang cahaya berhimpun di dalam tabung cahaya, tari-menari, di malam yang terang benderang sampai fajar menjelang di cakrawala.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menghadirkan "Tradisi" Malin Kundang di Sekolah

22 Juli 2016   17:37 Diperbarui: 22 Juli 2016   17:55 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Malin Kundang | Sumber: http://dongengterbaru.blogspot.co.id/2015/08/malin-kundang-anak-durhaka.html

“Tidak usah muluk-muluk!” kata kawan saya tiba-tiba, di sela perjalanan kami menuju Malang. “Hari pertama sekolah didasari akar tradisi apa?”

Kok tradisi? Ini pendidikan modern, mengapa kita perlu mencari akar tradisinya?”

“Jadi pendidikan modern yang kita selenggarakan ini tidak memerlukan akar tradisi? Lantas akan dibangun dengan pondasi apa? Ditumbuhkan dengan akar kearifan model bagaimana? Dihidupi oleh nyawa kesadaran apa?”

Saya gelagapan menemukan jawaban atas pertanyaan kawan saya. Tradisi yang dikonotasikan dengan sikap hidup tradisional, kuno, kolot, ketinggalan zaman berhadapan dengan “tradisi” pendidikan modern yang sorot matanya hinggap di masa depan, rasional, objektif, derap langkahnya menuju satu titik harapan: cakrawala masa depan. Pendidikan adalah “menghamili” ke-kini-an agar kelak “melahirkan” anak generasi yang hidup di era baru nun jauh di depan sana.

Akar tradisi telah menjadi masa lalu, terkubur debu perubahan yang menggelinding ke masa depan. Kearifan lokal tidak menarik lagi, menjadi milik kaum tua yang udhur sehingga kaum muda tidak merasa perlu menjadikannya bekal pertimbangan karena masa lalu dan masa depan tidak akan pernah ketemu.

“Itu namanya kualat,” kata kawan saya. “Anak yang tidak mengenali dan tidak mengakui ibunya akan kualat. Anak itu bisa menjadi batu.”

“Itu dongeng Si Malin Kundang. Kita berdiskusi tentang pendidikan ataukah dongeng masa lalu?” sergah saya.

“Jadi pendidikan dan dongeng adalah dua tema yang berdiri sendiri? Lalu tidak saling terkait satu sama lain? Kalau kita bicara politik ya dibatasi dinding politik? Bicara ekonomi ya dibatasi dinding ekonomi? Bicara pendidikan ya dibatasi dinding pendidikan? Begitu…?!”

Mboh, terserah kamu!”

“Lalu universitas itu ruangan satu pintu dengan banyak pintu kamar ataukah ruangan banyak pintu dengan satu ruang terbuka?”

Mboh, ngelu ndasku!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun