Mohon tunggu...
Achmad Saifullah Syahid
Achmad Saifullah Syahid Mohon Tunggu... Penulis

Dosen. Redaktur CakNun[dot]com.

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

[Mripat 07] Dongeng yang Dimuseumkan

28 April 2016   12:46 Diperbarui: 28 April 2016   13:02 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Alm. Mbah Masmundari (antropologifoto.blogspot.com)

Dongeng. Ada apa dengan dongeng? Mengapa dongeng menjadi semacam barang purba? Sedemikian tahayulkah sebuah dongeng sehingga ia akan mengotori akidah?

Para ayah dan ibu masihkah setia mendongengkan kisah Joko Bodho, Kancil dan Nabi Sulaiman, Joko Kendil? Ada yang masih ingat kisah Kinjeng-Dom, Ande-Ande Lumut, Aji Saka? Itu semua memang bukan kisah kontemporer. Dongeng teramat sederhana. Hidup di tengah dinamika masyarakat dusun yang juga sederhana. Dihiasi kearifan lokal gaya hidup nan sederhana.

Dongeng mengandung muatan keteladanan, ketangguhan, kemuliaan akhlak manusia, kebersamaan hidup, dan banyak lagi muatan cahaya di dalamnya. Ketika dongeng dibabar terdapat suasana mistis menyelubungi alur dialektikanya.

Sang pendongeng biasanya para sesepuh atau sosok yang dituakan. Ia bukan sekedar mendongeng, menceritakan kisah demi kisah, menggiring imajinasi pendengar menuju alam dongeng yang misterius. Dongeng menampilkan dirinya melalui hidup sang pendongeng. Suasana misterius menambah kesakralan. Substansi muatan yang terkandung di dalam kisah dongeng dan aura sang pendongeng menyatu dalam totalitas laku hidup.

Pendongeng jaman dulu sesungguhnya sedang mentransformasi muatan-muatan kehidupan khas pengalaman hidupnya. Sang pendongeng bukan pakar dongeng – ia adalah pelaku kehidupan.

Ya. Sang pendongeng adalah salikin. Orang yang sedang menempuh jalan kehidupan. Memetik buah kebijaksanaan hidup. Ia pribadi yang otentik dengan muatan-muatan hikmah. Apabila ia mendongengkan kisah kejujuran seluruh perilakunya membuktikannya sebagai manusia jujur.

Maka, sang pendongeng itu bisa siapa saja dan bekerja apa saja. Warga dusun tidak mempermasalahkannya. Meskipun sang pendongeng adalah tukang cari kayu dan ajeg memproses diri menjadi manusia yang bermartabat, maka tutur katanya, perilakunya, dan seluruh hidupnya adalah dongeng itu sendiri. Mbah Tukang Cari Kayu mendongengkan hidupnya.

Siapa penikmat dongeng itu? Anak-anak yang hidupnya mulai bersentuhan dengan mushola, langgar, atau masjid. Anak-anak yang membuat kesepakatan secara tidak tertulis: laki-laki adalah mereka yang tidak mbok-mboken. Berani tidur di mushola pada malam hari. Kehidupan malam hari setelah maghrib adalah kehidupan sastrawi. Dongeng dan sastra lisan menghiasi malam-malam yang indah. 

Suasana yang mustahil ditemukan anak zaman sekarang. Bagaimana tidak? Setelah isya pintu-pintu masjid dikunci. Bermain di halaman masjid pun akan berhadapan dengan Bapak Takmir.

Dan kita memakluminya dengan sikap berpikir manusia modern. Serba terkotak-kotak. Bahkan dongeng pun dimasukkan ke dalam kotak tradisional, khayalan, mistis, tahayul. Dongeng tidak lulus tes untuk menjadi bagian dari ilmu sejarah persekolahan. Ilmu sejarah adalah fakta yang harus memenuhi standar akademis ilmiah.

Bagaimana dengan dongeng? Dongeng terbuang dari kehidupan bangku sekolah. Terbuang dari kehidupan paling sehari-hari. Terbuang dari hidup anak turunnya sendiri. Sebabnya jelas: dongeng tidak ilmiah dan sulit diterima oleh dunia akademis. Mitos yang merusak akal sehat. Dongeng menjadi barang antik, simbol keterbelakangan dan pantas dimuseumkan ke dalam gua-gua purba.

Tapi, sudahlah. Itu hanya dongeng yang dikarang-karang oleh Siman. []

Jagalan 280416

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun