Mohon tunggu...
Achmad Jalaludin Akbar
Achmad Jalaludin Akbar Mohon Tunggu... mahasiswa

suka berkarya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dipaksa Humanis di negara Anarkis,Mengalah dan Melawan sama saja

30 Agustus 2025   19:25 Diperbarui: 30 Agustus 2025   19:23 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

                                                                                                     

Di negeri yang katanya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, rakyat justru sering dipaksa untuk tetap tenang, sabar, dan humanismeski negara sendiri mempertontonkan wajah anarkisnya. Hukum dipelintir, aparat represif, keadilan hanya menjadi barang mewah. Kita dipaksa tunduk pada nasihat moral untuk diam demi ketertiban, padahal ketertiban itu sering kali hanya melanggengkan penindasan dan kekuasaan.

Mengalah seolah dianggap sebagai solusi damai. Namun, seperti kata Pramoedya Ananta Toer, "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dari masyarakat dan dari sejarah." Mengalah dalam konteks ketidakadilan sama saja dengan membiarkan nama kita terhapus dari sejarah perjuangan. Sebaliknya, melawan sering dianggap sebagai jalan gagah, tetapi di negeri yang rapuh, keberanian dibalas dengan stigma, kriminalisasi, bahkan darah.

Selain itu Soekarno pernah berkata, "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya." Namun, bangsa juga akan runtuh bila rakyatnya hanya mengenal dua pilihan sempit: tunduk atau melawan tanpa arah. Mengalah salah, melawan pun masalah. Itulah jerat yang menyesakkan. 

Dalam hidup di negara ini yang serba anarkis, manusia kerap dipaksa untuk tetap humanis. Seolah-olah kebaikan harus tetap dijaga, bahkan ketika kekerasan menjadi bahasa sehari-hari. Saya, selaku penulis, melihat ini sebagai ironi: bagaimana bisa seseorang terus dipaksa berlapang dada ketika ruang keadilan digilas oleh kekuasaan dan arogansi? 

 Di satu sisi, ketika rakyat memilih mengalah, ''penguasa berkata bahwa rakyat pengecut''. Padahal, mengalah sering kali adalah cara menjaga diri dari kerusakan yang lebih besar. Namun, di sisi lain, ketika rakyat memilih melawan, dunia pun menuduh bahwa rakyatlah pembuat onar. Melawan dianggap sebagai ancaman, meski niatnya adalah mempertahankan martabat bangsa dan negara. 

Beginilah dilemanya: mengalah membuat kita terluka dalam diam, melawan membuat kita terancam dalam terang. Di tengah pusaran itu, kita semua harus menyadari bahwa masalahnya bukan pada pilihan "mengalah atau melawan," melainkan pada sistem yang memaksa kita untuk selalu terjebak di antara keduanya. 

Sebab, negara yang seharusnya melindungi justru menelanjangi; warga yang diharapkan saling menjaga justru saling menuduh. Akhirnya, kata "humanis" pun kehilangan maknanya ia hanya menjadi tuntutan kosong di tengah kekacauan yang tak pernah ditata.

sepengal  nasihat dari opini saya:

Jangan berhenti pada dilema itu. Yang kita butuhkan adalah keberanian yang cerdas---bukan sekadar kemarahan atau kepasrahan. Humanisme sejati lahir ketika keadilan ditegakkan. Jika negara gagal, rakyat harus belajar membangun kesadaran kolektif: bersuara, mengkritik, mendidik, dan bergerak bersama.

Jangan hanya menjadi manusia yang sabar tanpa daya; jangan pula menjadi pemberontak yang terbakar sia-sia. Jadilah pribadi yang tahu kapan menahan, kapan menyuarakan, dan kapan bersatu. Karena perubahan sejati tidak lahir dari sikap mengalah terus-menerus, juga tidak tumbuh dari perlawanan yang serampangan. Ia lahir dari hati yang berani, pikiran yang jernih, dan solidaritas yang kokoh.

Maka, ketika kita masyarakat Indonesia dipaksa untuk terus menjadi humanis di tengah negara yang anarkis, jadikanlah sabar sebagai strategi, bukan kelemahan. Jadikanlah perlawanan sebagai keberanian, bukan kemarahan buta. Dan jadikanlah persatuan sebagai jalan, agar kita tidak selamanya terjebak dalam paradoks: mengalah salah, melawan pun menambah masalah.

 

karya:mazbarr

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun