Di MTsN 32 Jakarta, program bank sampah menjadi laboratorium hidup pendidikan ekoteologi Islam. Pagi itu, halaman madrasah belum sepenuhnya ramai. Embun masih menempel di dedaunan ketika beberapa siswa datang membawa kantong plastik berisi botol bekas dan kertas sisa tugas. Di sudut halaman, tampak seorang guru mendampingi mereka menimbang sampah lalu mencatatnya di buku tabungan kecil. Tidak ada suasana kotor atau jorok, yang tampak justru semangat belajar yang bersinar di wajah-wajah muda itu.
"Kalau tabungannya penuh, nanti uangnya bisa dipakai buat beli bibit pohon," ujar salah satu siswa dengan nada bangga. Dari aktivitas sederhana itulah, madrasah ini mulai menanamkan pelajaran besar tentang kehidupan: bagaimana iman dan kepedulian terhadap lingkungan bisa tumbuh dari sesuatu yang tampak sepele --- sampah.
Belakangan ini, isu lingkungan semakin sering muncul di ruang publik --- dari berita, media sosial, hingga ruang kelas. Krisis iklim dan tumpukan sampah bukan lagi sekadar wacana, tapi kenyataan yang mengetuk kesadaran kita semua. Bagi madrasah, persoalan ini bukan hanya tantangan ilmiah, tetapi juga tanggung jawab moral. Di sinilah lahir gagasan menjadikan bank sampah sebagai living laboratory atau laboratorium hidup, tempat siswa belajar langsung dari kehidupan nyata.
Program bank sampah di madrasah bukan sekadar proyek kebersihan. Ia adalah bentuk pembelajaran lintas disiplin yang menumbuhkan kepekaan ekologis sekaligus spiritual. Siswa tidak hanya belajar memilah sampah plastik dan kertas, tetapi juga menumbuhkan kesadaran bahwa bumi adalah amanah. Dalam setiap aktivitasnya tersimpan nilai-nilai Fiqih, Akidah, hingga Ekonomi Syariah: bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari ibadah.
Di balik timbangan sederhana dan karung-karung sampah terpilah, ada proses pendidikan yang berjalan begitu alami. Para guru tidak perlu banyak ceramah; cukup mengarahkan siswa pada aksi nyata, nilai-nilai itu tumbuh sendiri. Saya sering mengamati bagaimana siswa lebih bersemangat ketika belajar melalui praktik bank sampah dibandingkan hanya mendengar teori di kelas. Mereka tertawa, berdiskusi, bahkan saling membantu mengangkat karung sampah. Dari sana terlihat, pembelajaran yang hidup selalu berangkat dari pengalaman, bukan hafalan.
Lebih dari sekadar melatih kepedulian, kegiatan ini juga membentuk karakter. Siswa belajar jujur saat menimbang hasilnya, disiplin datang setiap pekan, dan menghargai kerja sama. Mereka tidak hanya membersihkan halaman madrasah, tetapi juga membersihkan cara pandang bahwa sampah bukan akhir dari sesuatu, melainkan awal dari perubahan.
Dalam ajaran Islam, manusia diberi gelar khalifah fil ardh --- pemelihara bumi. Nilai ini menjadi dasar dari pendidikan ekoteologi, yaitu memahami bahwa alam bukan sekadar objek, tapi bagian dari relasi spiritual antara manusia dan Tuhan. Ketika siswa memungut plastik yang tergeletak di taman, sesungguhnya mereka sedang menunaikan tanggung jawab keagamaan: menjaga keseimbangan ciptaan Allah.
Pelajaran IPA, IPS, dan Fiqih pun bisa saling bertaut. Guru Fiqih mengaitkan kegiatan bank sampah dengan prinsip thaharah (kebersihan), guru IPS menjelaskan aspek ekonomi sirkular, sementara guru IPA menelaah proses daur ulang secara ilmiah. Inilah bentuk integrasi ilmu dan iman yang nyata --- bukan sekadar jargon kurikulum. Madrasah pun benar-benar menjadi living laboratory, tempat ilmu, iman, dan aksi bersatu.
Manfaat program ini melampaui dinding kelas. Dari hasil tabungan sampah, siswa bisa mendanai kegiatan sosial kecil seperti membeli bibit tanaman, membuat taman vertikal, atau menyumbang untuk teman yang membutuhkan. Perlahan, terbentuk kultur baru: gotong royong, hemat, dan bertanggung jawab.
Dari sisi ekonomi, siswa belajar prinsip syariah dalam bentuk paling sederhana --- mengelola sumber daya tanpa mubazir, mencari manfaat tanpa merusak. Dari sisi sosial, mereka belajar empati dan kolaborasi. Dan dari sisi spiritual, mereka menemukan makna ibadah dalam tindakan kecil yang konkret.
Madrasah memiliki peluang besar menjadi pionir gerakan hijau berbasis nilai Islam. Melalui bank sampah, guru dan siswa sama-sama belajar bahwa pendidikan sejati bukan hanya transfer pengetahuan, melainkan penanaman kesadaran --- sadar bahwa bumi ini bukan milik kita sepenuhnya, tetapi titipan yang harus dijaga.