Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

[Babad Tanah Jawa] Siyungwanara, Kisah Perseteruan Anak dan Bapak

21 Juli 2019   13:38 Diperbarui: 21 Juli 2019   13:54 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://asriswear.blogspot.com 

ALKISAH seorang pendeta yang berpadepokan di sebelah barat laut Pajajaran. Nama pendeta yang dapat mengetahui kejadian sebelum waktunya (ngerti sadurunge winarah) itu bernama Ki Ajar Capaka. Oleh raja Pajajaran, Ki Ajar Capaka akan diuji kesaktiannya. Maka sang raja memerintahkan pada patihnya untuk merekayasa istri simpanannya itu senampak sedang mengandung. Sesudah melaksanakan tugasnya, patih Pajajaran beserta istri simpanan raja Pajajaran itu menemui Ki Ajar Capaka.

Mengetahui sedang diuji, Ki Ajar Capaka mengatakan bahwa istri simpanan raja Pajajaran itu benar-benar mengandung anak laki-laki. Melihat kenyataan yang tidak diharapkan itu, raja Pajajaran murka bukan kepalang. Dibunuhlah Ki Ajar Capaka. Sebelum menghembuskan napas terakhir, Ki Ajar Capaka menjatuhkan kutukan, "Apabila besok ada seorang pemuda bernama Siyungwanara, saatnya aku berbalas dendam!"

Sepeninggal Ki Ajar Capaka, raja Pajajaran memanggil seluruh ahli nujum untuk menangkal agar kutukan itu tidak menimpanya. Namun para ahli nujum mengatakan bahwa kutukan Ki Ajar Capaka itu bakal menjadi kenyataan jika terjadi kisah seorang anak membunuh ayahndanya sendiri. Karenanya, para ahli nujum menyarankan kepada raja Pajajaran agar membunuh putra yang bakal dilahirkan oleh istri simpanannya itu.

Beberapa bulan kemudian, lahirlah putra raja Pajajaran. Oleh raja Pajajaran, bayi itu diracun. Karena tidak mati diracun, raja Pajajaran kembali berusaha membunuhnya dengan senjata tajam. Karena tidak mempan dengan senjata tajam, raja Pajajaran itu memerintahkan bawahannya untuk membuang bayi itu ke sungai Karawang. Diharapkan bayi itu tewas sesudah hanyut di dalam air sungai.

Bersama arus Sungai Karawang, bayi yang tidak mati itu sampai di suatu tempat. Oleh Kiai Buyut Karawang yang sedang mengail di tepi sungai, bayi itu ditemukan. Oleh Kiai Buyut, bayi yang dipungut sebagai putra angkat itu diberi nama Ki Jaka. Sesudah dewasa, Ki Jaka berganti nama Siyungwanara. Nama yang dibentuk dari dua kata yakni 'Siyung' yang menunjuk pada salah satu jenis burung dan 'Wanara' yang bermakna kera.

Pada Ki Buyut Karawang, Siyungwanara bertanya tentang siapakah ayahnya kandungnya. Ki Buyut Karawang menjawab bahwa Siyungwanara merupakan putranya sendiri. Sesudah mendapat jawaban yang tidak sebenarnya itu, Siyungwanara diajak Ki Buyut Karawang untuk pergi ke kotapraja Pajajaran. Menemui saudaranya yang bekerja sebagai tukang pandai besi dan membuat berbagai senjata untuk raja Pajajaran.

Karena sangat suka tinggal di kotapraja Pajajaran, Siyungwanara yang tidak ikut pulang bersama Ki Buyut Karawang kemudian belajar membuat berbagai senjata pada tukang pandai besi itu. Oleh si pandai besi, Siyungwanara diangkat sebagai anaknya.

Pada suatu hari, Siyungwanara mendengar kabar tentang para prajurit Pajajaran yang tengah berlatih perang di alun-alun. Karena ketertarikan dengan latihan perang itu, Siyungwanara ingin menyaksikannya dari dekat. Pandai besi melarangnya. Akan tetapi, Siyungwanara yang memiliki kemauan keras itu tidak menghiraukan larangan itu. Ia pergi ke alun-alun Pajajaran. Menyaksikan para prajurit yang tengah berlatih perang. 

Sesudah bosan menyaksikan para prajurit yang berlatih perang di alun-alun, Siyungwanara memasuki istana raja Pajajaran. Berhenti di Balesawo. Memainkan seluruh alat musik gamelan yang ada di sana. Raja Pajajaran yang mendengar kegaduhan di Balai sawo memerintahkan para mantri untuk menangkap pelakunya. Tidak khayal kemudian, terjadilah perkelahian antara Siyungwanara dan para mantri. Karena kesaktian yang dimiliki Siyungwanara, sebagian dari para mantri itu menderita luka parah di sekujur tubuh mereka. Sebagian lainnya tewas dengan sangat mengenaskan.

Mengetahui kesaktian Siyungwanara, raja Pajajaran meminta laporan pada salah seorang mantri tentang siapakah nama dan orang tua anak itu. Sang mantri memberikan jawaban, bahwa anak itu bernama Siyungwanara dan merupakan anak si tukang pandai besi.

Beberapa saat kemudian, pandai besi itu dipanggil oleh raja Pajajaran. Sesudah menghadap, raja Pajajaran meminta kepada pandai besi untuk menyerahkan Siyungwanara untuk dijadikan sebagai anak angkat. Pandai besi menyerahkan Siyungwanara dengan tangan terbuka.

Siyungwanara tinggal di dalam istana. Sesudah berganti nama Arya Banyakwide, Siyungwanara diperintahkan raja Pajajaran untuk menaklukkan beberapa kerajaan. Karena kesaktiannya, tugas dari raja Pajajaran itu dapat dilakukan dengan baik. Banyak kerajaan dapat ditaklukkan. Harta rampasan perang beserta seluruh putri boyongan diserahkan kepada raja Pajajaran.

***

Hari berganti hari hingga Arya Banyakwide mengetahui tentang siapakh ayah sejatinya yang tak lain raja Pajajaran. Arya Banyakwide pun mengetahui bahwa semasih bayi, raja Pajajaran itu mencoba membunuhnya dengan memasukkan ke dalam kerangkeng besi dan membuagnya di sungai Kerawang.

Karena ingin berbalas dendam dendam pada raja Pajajaran, Arya Banyakwide memerintahkan pandai besi untuk membuat kerangkeng besi. Sesudah kerangkeng besi itu selesai dibuat, Arya Banyakwide menggunakannya sebagai tempat tidur.

Menyaksikan Arya Banyakwide selalu tidur dengan nyaman di dalam kerangkeng besi itu, raja Pajajaran merasa heran. Bertanyalah raja Pajajaran kepada Arya Banyakwide, "Hei, Banyakwide! Apa kau kurang kerjaan? Kenapa kau selalu tidur di dalam kerangkeng besi? Bukankah tilam yang beralaskan kain berenda sutra lebih nyaman buatmu?"

"Ampun, Baginda. Sungguhpun tampak seperti penjara, namun kerangkeng besi ini membuat tubuh hamba yang lesu menjadi segar kembali. Membuat tubuh hamba yang kedinginan menjadi hangat kembali. Membuat tubuh hamba yang sakit menjadi sehat kembali. Perut hamba yang kelaparan menjadi kenyang kembali."

Mendengar jawaban Arya Banyakwide, raja Pajajaran ingin mencoba tidur di dalam kerangkeng besi itu. Dengan sikap santun, Arya Banyakwide memersilakan. Sesudah raja memasuki kerangkeng besi, Arya Banyakwide menggrendel pintunya dari luar. Dengan gusar raja bertanya, "Kenapa kau grendel pintu kerangkeng besi ini dari luar, Bayakwide?"

"Setiap hutang harus dilunasi, Baginda," jawab Banyak Wide enteng. "Sewaktu hamba masih kecil, Baginda yang merupakan ayah hamba sendiri telah tega membuang hamba ke Sungai Karawang. Kini tiba saatnya, hamba harus Baginda ke Sungai Karawang. Ha..., ha..., ha...."

Tanpa menghiraukan perkataan raja Pajajaran yang terus meminta dibebaskan, Arya Banyakwide membawa kerangkeng besi itu menuju tepian Sungai Karawang. Melemparkan kerangkeng besi itu ke tengah sungai. Singkat kata, raja Pajajaran tewas. Hanyut di dasar Sungai Karawang.

***

Berita meninggalnya raja Pajajaran dilaporkan oleh seorang prajurit kepada putranya -- Jaka Sesuruh. Sebagai putra yang harus berbakti kepada orang tuanya, Jaka Sesuruh bertindak. Perkelahian antara Jaka Sesuruh dan Arya Banyakwide tidak dapat dihindari.

Karena kalah sakti, Jaka Sesuruh meninggalkan medan perang. Ia berlari ke arah timur. Mengungsi di desa Kaligunting. Di desa itu, Jaka Sesuruh tinggal di rumah seorang janda bernama Nyai Kaligunting. Janda itu memiliki tiga orang adik kandung -- Ki Nambi, Ki Wira, dan Ki Bandara. Bersama mereka dan 100 orang, Jaka Sesuruh yang menjadi buron Arya Banyakwide yang menjadi raja baru Pajajaran itu meninggalkan desa Kaligunting. Menyeberangi sungai demi sungai. Masuk-keluar hutan. Menaik-turuni bukit. Hingga akhirnya, mereka mendaki puncak gunung Kombang.

Di puncak gunung Kombang, Jaka Sesuruh bertemu dengan seorang pendeta bernama Ki Ajar Cemaratunggal. Dari pendeta itu, Jaka Sesuruh mendapatkan tiga pesan utama, antara lain: pertama, pergi ke arah timur, tepatnya di tlatah Singhasari. Wilayah kekuasaan Prabu Kertanegara. Kedua, Jaka Sesuruh diminta untuk tinggal ke suatu tempat yang ditumbuhi pohon maja berbubah satu dan rasanya pahit. Ketiga, Jaka Sesuruh diprediksikan oleh Ki Ajar Cemaratunggal bakal menurunkan raja-raja di tanah Jawa yang berpusat di sebelah utara Pamantingan (Pantai Parangtritis) dan di sebelah selatan Gunung Merapi (Mataram).

Sesudah mendapatkan tiga pesan dari Ki Ajar Camaratunggal, Jaka Sesuruh beserta rombongannya pergi ke arah tlatah Singhasari. Hingga suatu ketika, Jaka Sesuruh mendapat pohon maja yang berbuah satu. Dipetiklah buah itu dan disantapnya. Berasa sangat pahit. Kemudian oleh Jaka Sesuruh, tempat itu dinamakan Majapahit. Suatu pedukuhan yang kelak menjadi negara termasyur di Bumi Nusantara bernama Majapahit.

***

Kembali pada kisah Arya Banyakwide yang menjadi raja Pajajaran, Disahkan bahwa Arya Banyakwide telah menaklukkan kerajaan Galuh. Arya Bangah (raja Galuh) yang dapat lolos dari kepungan pasukan Pajajaran itu berlari ke pedukuhan Majapahit. Meminta perlindungan pada Jaka Sesuruh yang masih saudaranya. Tanpa berpikir jauh, Jaka Sesuruh yang mendapat dukungan dari Ki Nambi, Ki Wira, dan Ki Bandara menyerbu Pajajaran.

Dalam pertempuran antara Pajajaran dan Majapahit, Jaka Sesuruh dapat menaklukkan Arya Banyakwide. Sepeninggal Arya Banyakwide, Jaka Sesuruh menjadi raja di Majapahit. Ki Bandara menjadi patih bergelar Arya Wahan. Sementara, Ki Nambi dan Ki Wira menjabat sebagai mantri. [Sri Wintala Achmad]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun