DI TENGAH perkemahan Randu Watangan, jasad Abimanyu dibaringkan di atas pancaka. Prabu Kresna, Prabu Matsyapati, Yudistira, Nakula, Sadewa, Setyaki, Srikandi, Trustajumena, Gathotkaca, dan senapati perang lain telah melingkari pancaka. Namun mereka tak akan menyempurnakan jasad Abimanyu itu dengan api suci sebelum kedatangan Siti Sendari, Arjuna, dan Bima. Selagi menunggu ketiga orang terdekat Abimanyu, mereka hanya berdiri dengan wajah tertunduk sambil melafalkan doa-doa suci.
Matahari yang semula tepat di atas ubun kepala telah oleng ke barat. Sebagaimana Prabu Kresna dan Prabu Matsyapati; seluruh kerabat Pandhawa merasa lega saat menyaksikan kedatangan Siti Sendari, Arjuna, dan Bima di Perkemahan Randu Watangan dalam waktu hampir bersamaan. Namun tak lama kemudian, mereka tampak heran manakala menyaksikan Siti Sendari yang mengenakan pakaian serba putih serupa seorang resi. Mereka pun semakin tampak berduka manakala mendengar penuturan Siti Sendari yang ingin bela pati pada Abimanyu. Mati bersama suaminya di atas pancaka melalui api suci.
"Kanda Prabu Kresna...." ucap Yudistira di hadapan Prabu Kresna yang hanya terdiam seusai mendengarkan penuturan Siti Sendari untuk melakukan bela pati pada Abimanyu. "Sebaiknya Kanda Prabu mencegah hasrat Ananda Siti Sendari untuk bela pati pada Ananda Abimanyu."
"Tak mungkin kehendak Siti Sendari dapat dicegah, Adinda Prabu!" tegas Prabu Kresna. "Itu sudah menjadi sumpah Siti Sendari yang harus dilaksanakan. Sebagai wanita yang harus menjunjung tinggi martabanya, tak mungkin Siti Sendari akan menjilat ludahnya sendiri. Bukankah begitu Sendari?"
"Benar, Ayahnda."
"Baiklah!" Prabu Kresna menghempaskan napasnya yang terasa mengganjal di dada. "Kalau begitu, segeralah berbaring di atas pancaka di samping suamimu! Hanya dengan jalan demikian, kau akan abadi berdua dengan suamimu untuk tinggal di alam nirwana. Alam sempurna yang didambakan oleh setiap manusia."
Wajah Siti Sendari berbinar sesudah mendapatkan restu dari Prabu Kresna. Karenanya tak canggung lagi, kedua kakinya melangkah ke pancaka. Menaiki Pancaka dan rebah di samping jasad Abimanyu. Menyaksiskan pemandangan itu, susana hati dari seluruh orang yang hadir semakin trenyuh.
"Adinda Arjuna!" Prabu Kresna memecah suasana yang semakin senyap dan menyayat hati. "Sempurnakan jasad Abimanyu bersama Siti Sendari dengan api suci yang kau puja dari cipta paling dalam!"
Arjuna menyingkirkan rasa duka yang menyelimuti hatinya. Seusai mengikisnya, Arjuna mengerahkan cipta-nya. Dalam sekejap muncullah sinar merah sebesar bawang dari titik di antara kedua alis mata. Bersama hempasan napas dari mulut Arjuna, sinar itu melesat ke pancaka. Bersama doa-doa yang kembali dilafalkan oleh mereka yang hadir, pancaka terbakar dengan api suci. Menyempurnakan jasad Abimanyu dan Siti Sendari. Sepasang roh terbang menembus langit.
"Apa yang kau pikirkan, Adinda Arjuna?" tanya Kresna. "Sudahlah! Ikhlaskan kepergian anakmu Abimanyu! Ia telah hidup damai di surga."
"Bukan kepergian Abimanyu yang aku pikirkan Kanda Prabu. Tapi siapakah yang membunuh Abimanyu?"