Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Biografi Sri Wintala Achmad

SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dari Wanita Gemuk hingga Hantu yang Keluar-Kembali ke Lukisan

18 Maret 2018   05:11 Diperbarui: 18 Maret 2018   09:27 1153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://www.seruniartmanagement.com/2016/08/wara-anindyah.html

SEBAGIAN orang baru memiliki kesadaran tentang pilihan hidupnya ketika  berusia remaja. Tidak jarang pula, kesadaran tersebut baru dimiliki sesudah mereka dewasa. Namun lain mereka, lain pula Wara Anindyah. Seorang pelukis wanita Yogyakarta yang memiliki kesadaran akan pilihan hidupnya sejak masih kecil. Pilihan hidup untuk menjadi seorang pelukis. Kenapa? Karena seni lukis dapat dijadikan media ekspresinya. Seni lukis dapat menyalurkan bakat dan sesuatu yang menggelisahkan di dalam dirinya. Karenanya, seni lukis menjadi bahasa Wara yang tidak terucapkan lewat kata-kata.

http://www.balairungpress.com/wp-content/uploads/2016/11/1.jpg
http://www.balairungpress.com/wp-content/uploads/2016/11/1.jpg
Apa yang menjadi pilihan hidup Wara untuk menjadi pelukis mendapat dukungan kedua orang tuanya. Ketika Wara kecil suka mencorat-coret bukannya dilarang dan dimarahi kedua orang tuanya, melainkan mendapatkan fasilitas yang mendukung bakatnya. Berkat dukungan kedua orang tuanya itu, Wara semakin mantab untuk mengasah bakatnya di bidang seni lukis. Karenanya sesudah tamat SMP, Wara melanjutkan studinya di SMSR, dan berlanjut ke ISI Yogyakarta, jurusan seni rupa. Melalui pendidikan formalnya itu, bakat Wara kian terasah. Eksistensinya sebagai pelukis pun semakin kokoh.

Sesudah menikah dengan Sri Harjanto Sahid (sastrawan, dramawan, dan pelukis); eksistensi Wara sebagai pelukis kian berkibar. Karena suaminya itu memberi dukungan penuh dan fasilitas terhadap proses kreatifnya. Sebagai contoh, ketika Wara sedang melukis di ruang studionya, Sri Harjanto yang berbelanja dan mengasuh anak-anaknya.

Hantu yang Keluar dan Kembali ke Lukisan

Karena seni lukis merupakan sesuatu yang menarik dalam hidupnya, Wara sangat setia menggeluti proses kreatifnya. Selain sebagai pelukis, Wara juga membuat film-film berdurasi pendek bersama putrinya yakni Seruni Bodjawati. Film-film yang berdasarkan lukisan karya Wara dan Seruni itu sering dilibatkan dalam screening di berbagai event, pusat budaya dan universitas di luar negeri seperti di Affordable Art Fair Milan Italy, Hong Kong Contemporary Art Fair, Plateau Gallery Berlin, Le Petit Versailles New York, Art Point Gallery Prievidza Slovakia, dan masih banyak lagi. Film terakhir karya Wara dan Seruni yang berkolaborasi dengan Dr. Felicia Hughes-Freeland dilibatkan dalam EASA Biennial Conference 2016 di University of Milano-Bicocca Italy..

http://archive.ivaa-online.org/pelakuseni/wara-anindyah
http://archive.ivaa-online.org/pelakuseni/wara-anindyah
Ketertarikan Wara pada seni lukis karena dapat dijadikannya sebagai media untuk menuangkan sesuatu yang tidak ada di dunia nyata  dan tidak pernah terpikirkan orang lain. Sungguhpun harus keluar uang untuk membeli perlengkapan melukis, namun ketertarikan Wara terhadap seni lukis tidak pernah pudar. "Jer basuki mawa bea," katanya.

Dalam hal proses kreatif, Wara menuturkan bahwa ide karya-karya lukisnya diperoleh dari berbagai sumber, semisal: buku-buku, film-film, atau berita-berita di surat kabar yang menimbulkan kegelisahan. Ide yang terpicu isu dari luar dan berkembang tersebut direnungkan, diolah, disketsa, dan dituangkan ke dalam karya.

Selama berproses kreatif, Wara selalu melakukan riset. Dengan riset, kedalaman dan keutuhan karyanya dapat dipertanggungjawabkan, selain memiliki jiwa. Riset pula dapat memerkaya batin dan referensi lukisannya. Karenanya, setiap karya yang dilahirkannya membutuhkan riset yang berbeda. 

http://archive.ivaa-online.org/pelakuseni/wara-anindyah
http://archive.ivaa-online.org/pelakuseni/wara-anindyah
Terdapat riset yang unik bagi Wara ketika akan memvisualkan wanita-wanita gemuk dalam lukisannya. Saat itu, Wara sering keluar untuk mengamati wanita-wanita gemuk. Tidak hanya gesture yang diamati, namun pula gerakan, dan lekuk-lekuk tubuh mereka. Pengamatan itu tidak hanya dilakukannya secara langsung, namun pula melalui internet dan buku. 

Salah satu karyanya yang memvisualkan wanita gemuk yakni My Name isRatu Kidul. Dalam karya tersebut, Ratu Kidul tidak divisualkan dalam bentuk klasik sebagaimana lukisan Basuki Abdullah, melainkan wanita gemuk yang sedang berbelanja. Namun pemvisualan itu tidak dimaksudkan Wara untuk melecehkan Sang Ratu Laut Selatan, melainkan untuk menghormatinya.

Sungguhpun Ratu Kidul merupakan makhluk gaib, namun tidak ada pengalaman magis yang diperoleh Wara sesudah menyelesaikan karyanya. Justru pengalaman magis ia peroleh sesudah menggarap karya yang memvisualkan sosok-sosok korban kebakaran bioskop Empire Theatre di Jalan Solo, Yogyakarta. Pada suatu malam, terlihat sesosok hantu yang keluar dan kembali ke lukisan, hingga membuat Wara ketakutan. Sosok-sosok berwajah putih dan berdiri berderet itu tampak sangat mengerikan.  

Karya-karya lukis Wara yang bernuansa magis dan lahir dari rahim imajinasinya itu sungguh memvisualkan sosok-sosok berwajah menakutkan. Karenanya tidak heran, bila masyarakat selalu memberikan respons, kritik, dan komentar mengenai karya-karyanya, "Lukisane medeni (lukisannya menakutkan)."

Sekalipun masyarakat mengkritisi karya-karyanya, namun Wara tetap setia dengan proses kreatifnya. Mengingat Wara tidak ingin terjebak pada tuntutan masyarakat yang menghendaki lukisan realis, cantik, atau pemandangan. Sungguhpun tuntutan itu dianggap menarik, namun Wara tetap ingin setia mengabdi pada idealismenya sebagai pelukis murni.

PeriodeMagis, Eropa, dan Tionghoa 

Selama menekuni seni lukis, banyak sumber inspirasi yang memengaruhi proses kreatif Wara. Sumber inspirasi tersebut bukan hanya datang dari Dr. Felicia Hughes-Freeland (antropolog dari Inggris), namun pula dari Kartika Afandi, Dian Anggraini, dan Lucia Hartini. Tidak mengherankan lantaran seringnya berinteraksi dan sharing dengan mereka, Wara pernah berpameran bersama di Galeri Orasis Surabaya.

http://archive.ivaa-online.org/pelakuseni/wara-anindyah
http://archive.ivaa-online.org/pelakuseni/wara-anindyah
Diakui bahwa jam terbang Wara sebagai pelukis tidak terbilang pendek lagi. Kepiawaiannya dalam melukis tidak diragukan di lingkup masyarakat seni rupa Indonesia. Sehingga wajar kalau karyanya yang memvisualkan wanita gemuk mendapat rekomendasi dari Sardono W Kusumo sebagai obyek tarian Subur karya Dwi Maryani. 

Karya tari yang melibatkan sejumlah penari bertubuh gemuk dan dipresentasikan Dwi Maryani saat menempuh ujian program studi S2 di STSI Solo. Selain itu, karya-karyanya diminati oleh Gerard Holthuis (sutradara dari Belanda). Mengingat di Belanda, karya-karnya yang unik jarang ditemui.

http://archive.ivaa-online.org/pelakuseni/wara-anindyah
http://archive.ivaa-online.org/pelakuseni/wara-anindyah
Karya-karya lukis Wara mendapat apresiasi dari para praktisi, pengamat, dan kritikus seni lukis Indonesia. Di antaranya adalah Danarto dan Agus Dermawan T. Menurut Danarto bahwa lukisan Wara telah melewati tiga periode, yakni: periode magis, periode Eropa, dan periode Tionghoa. Imajinasi yang dituangkan dalam karya Wara didominasi sosok perempuan gemuk dan gundul.

 Penggambaran itu setelah Wara bertemu dengan sesosok hantu yang disebut sebagai periode magis. Sedangkan periode Eropa diperoleh setelah Wara banyak memvisualisasikan tokoh fiksi dari sejumlah prosa Eropa terjemahan dan juga berbagai film. Sementara itu, periode Tionghoa, dipresentasikan melalui Dewi Welas Asih yang prosesnya melalui mimpi Wara bertemu Dewi Kwan Im pada 1999 (Danarto, Wara Anindyah Mencipta Drama, Kompas, Sabtu, 8 Desember 2001, hal. 28).

Sementara Agus Dermawan T mencatat melalui esainya Melihat Panggung Tionghoa lewat Wara bahwa pencapaian Wara Anindyah pada periode Tionghoa lebih kepada adanya panggilan dalam hati Wara yang berdarah Cina dari neneknya di Cirebon (Jawa Barat) untuk mengaktualisasikan kembali budaya Tionghoa di Indonesia setelah dibungkam selama 32 tahun oleh rezim Orde Baru." (Suara Pembaruan, Minggu, 27 Januari 2002 hal. 23).

Catatan Akhir

Selama berhelat dengan seni lukis, Wara berpedoman pada pandangan hidup yang dapat mengukuhkan eksistensinya sebagai kreator. Wara berpendapat bahwa melukis yang merupakan aktivitas kreatifnya dipandang sebagai kebutuhan pokok sebagaimana bernapas dan makan. Melukis bukan sesuatu yang diada-adakan, melainkan menjadi bagian hidup sehari-hari. Ideologi juga berpengaruh, namun tidak menjadi sesuatu yang mutlak. Ideologi sekadar masukan.

Bagi Wara, melukis juga harus membuat orang lain senang, menimbulkan inspirasi  dan semangat. Untuk itu, karya lukis harus diciptakan oleh seorang kreator dengan sepenuh hati. Lahirnya karya lukis jangan hanya berdasarkan isu yang sedang nge-trend, melainkan berdasarkan keinginan hati."

[Sri Wintala Achmad]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun