Karya-karya lukis Wara yang bernuansa magis dan lahir dari rahim imajinasinya itu sungguh memvisualkan sosok-sosok berwajah menakutkan. Karenanya tidak heran, bila masyarakat selalu memberikan respons, kritik, dan komentar mengenai karya-karyanya, "Lukisane medeni (lukisannya menakutkan)."
Sekalipun masyarakat mengkritisi karya-karyanya, namun Wara tetap setia dengan proses kreatifnya. Mengingat Wara tidak ingin terjebak pada tuntutan masyarakat yang menghendaki lukisan realis, cantik, atau pemandangan. Sungguhpun tuntutan itu dianggap menarik, namun Wara tetap ingin setia mengabdi pada idealismenya sebagai pelukis murni.
PeriodeMagis, Eropa, dan TionghoaÂ
Selama menekuni seni lukis, banyak sumber inspirasi yang memengaruhi proses kreatif Wara. Sumber inspirasi tersebut bukan hanya datang dari Dr. Felicia Hughes-Freeland (antropolog dari Inggris), namun pula dari Kartika Afandi, Dian Anggraini, dan Lucia Hartini. Tidak mengherankan lantaran seringnya berinteraksi dan sharing dengan mereka, Wara pernah berpameran bersama di Galeri Orasis Surabaya.
Karya tari yang melibatkan sejumlah penari bertubuh gemuk dan dipresentasikan Dwi Maryani saat menempuh ujian program studi S2 di STSI Solo. Selain itu, karya-karyanya diminati oleh Gerard Holthuis (sutradara dari Belanda). Mengingat di Belanda, karya-karnya yang unik jarang ditemui.
 Penggambaran itu setelah Wara bertemu dengan sesosok hantu yang disebut sebagai periode magis. Sedangkan periode Eropa diperoleh setelah Wara banyak memvisualisasikan tokoh fiksi dari sejumlah prosa Eropa terjemahan dan juga berbagai film. Sementara itu, periode Tionghoa, dipresentasikan melalui Dewi Welas Asih yang prosesnya melalui mimpi Wara bertemu Dewi Kwan Im pada 1999 (Danarto, Wara Anindyah Mencipta Drama, Kompas, Sabtu, 8 Desember 2001, hal. 28).
Sementara Agus Dermawan T mencatat melalui esainya Melihat Panggung Tionghoa lewat Wara bahwa pencapaian Wara Anindyah pada periode Tionghoa lebih kepada adanya panggilan dalam hati Wara yang berdarah Cina dari neneknya di Cirebon (Jawa Barat) untuk mengaktualisasikan kembali budaya Tionghoa di Indonesia setelah dibungkam selama 32 tahun oleh rezim Orde Baru." (Suara Pembaruan, Minggu, 27 Januari 2002 hal. 23).
Catatan Akhir
Selama berhelat dengan seni lukis, Wara berpedoman pada pandangan hidup yang dapat mengukuhkan eksistensinya sebagai kreator. Wara berpendapat bahwa melukis yang merupakan aktivitas kreatifnya dipandang sebagai kebutuhan pokok sebagaimana bernapas dan makan. Melukis bukan sesuatu yang diada-adakan, melainkan menjadi bagian hidup sehari-hari. Ideologi juga berpengaruh, namun tidak menjadi sesuatu yang mutlak. Ideologi sekadar masukan.